ANTARA PORONG—JAKARTA


BULAN bulat itu belum ingin pulang ke pembaringan, ketika dengan pikiran retak aku meletakkan diriku di atas rumput basah di taman ini. Di atas rumput-rumput yang lelah itu aku membaurkan diriku dalam deru kendaraan yang tak pernah bersedia berhenti meski hanya sedetik. Malah mereka berlomba-lomba memamerkan kemegahan metropolitan yang terasa bagaikan ejekan bagi keterpanaanku pada jutaan kendaraan mewah yang konon harganya sampai menyentuh angka milyar. Wow! Milyar? Seperti apa rasanya? Membayangkan tumpukan uang kertas berwarna merah dalam gebokan membuatku tertawa geli dalam hati. Sampai umurku ditambah tiga kali lipat pun tak akan mungkin sanggup mengumpulkan 1 milyar.

Tetapi, konon orang-orang Jakarta selalu bergelimang uang. Konon pula, uang bagi mereka tidak menjadi persoalan. Uanglah yang bekerja untuk mereka, bukan mereka yang bekerja demi uang. Andai saja aku mampu melakukannya. Tapi, bagaimana caranya? Dapatkah uang bekerja untukku? Mampukan uang sebesar Rp 250.000,-  yang kuterima tiap bulan sebagai upah mengajar pada sebuah sekolah dasar, bekerja untukku? Rasanya nihil. Uang itu selalu selesai sebelum tanggal seharusnya. Lembaran lima-puluhan ribu sebanyak lima lembar itu kuterima dari tangan Bu Salmah, bendahara yayasan setiap tanggal lima. Selalu dalam perjalanan pulang dengan sepeda aku menghitung dalam hati, berapa untuk siapa, berapa untuk apa.

Begitu sampai di rumah mungil kami di Reno Kenongo, desa tempat aku, emakku, dan nenekku dilahirkan, dengan bergegas aku meletakkan sepeda dan menyelipkan selembar lima-puluhan ketangan emak yang keriput. Dengan sumringah emak selalu bertanya, 

’’Apa kamu sudah cukup Ning?’’

’’Sudah, Mak,’’ jawabku selalu.

’’Bayar bon di warung Pak Kaji?’’

’’Iya ini sudah aku sisihkan.’’

’’Bayar listrik?”

’’Besok, Mak.’’

’’Iuran kampung, jangan lupa lho.’’

’’Beres Mak.’’

’’Sekolah adikmu bulan lalu bisa dibayar sekarang toh Nduk?’’

Itulah dialog terakhir antara aku dengan emak sebelum akhirnya harus memindahkan barang-barang seadanya ke pengungsian. Aku, emak, dan dua adik perempuanku. Kami berempat harus meninggalkan sepetak tanah peninggalan almarhum ayah, hasil karyanya selama berpuluh tahun sebagai kuli bangunan. Meski hanya berukuran 7 x 9 meter persegi dengan bangunan setengah tembok, kami dengan bangga menyebutnya itu: rumah. 

Terserah pendapat orang lain, apakah bangunan mungil dengan secuil halaman itu bisa disebut rumah, aku tak memiliki kosakata lain untuk menerangkannya. Rumah kami, adalah sebuah pigura dengan berbagai gambar di dalamnya, dan kami sangat mencintainya. Bukan sekadar tempat berteduh dari sengatan matahari dan berlindung dari derasnya hujan, bangunan itu adalah catatan harian berjuta kisah keluarga. 

Tetapi, hari itu kami mendadak harus memutuskan untuk meninggalkannya. Kami tak mungkin menempatinya lagi. Tanah-tanah retak, bau busuk mengepung dari segala penjuru. Air yang kami timba berwarna kehitaman. Dan setiap saat terancam luberan lumpur dari tanggul setinggi 12 meter di belakang kami. Setahun lamanya kami tidur dalam keadaan cemas. Mimpi buruk sering menghiasi tidur kami. Ketakutan bagaikan kunang-kunang di malam gulita yang berkelap-kelip tanpa irama.

Sebagai guru aku mendapat tugas ekstra sebagai psikolog tanpa bayaran. 

Setiap pagi sebelum membuka pelajaran aku harus memberi semacam ilmu ekstra yang kami dapat dari sebuah LSM tentang bagaimana membangun optimisme di tengah ancaman bencana, dan runtuhnya harapan. Tanggul yang mengelilingi desa kami itu sudah pernah menggenangi desa tetangga kami di Besuki. Sehingga desa kami Reno Kenongo pun harus bersiaga melalui pelatihan kesiapsiagaan bencana. Dan sejak aku serta beberapa murid mengungsi ke Pasar Porong, segala hal menjadi tidak sama lagi. Kami sering datang ke sekolah dalam keadaan mengantuk, loyo, tak memiliki harapan. Guru maupun murid, sama-sama membutuhkan pegangan untuk dapat bertahan. Kami harus saling menguatkan di antara sisa-sisa optimisme yang ada.

Waktu berjalan setahun, ya selama dua belas bulan, aku terpaksa menikmati indahnya hidup di pengungsian. Mandi harus antri, tinggal satu bilik bersama dua keluarga lain yang hanya dibatasi selembar kain dimana kami tak bisa menyembunyikan apapun. Bahkan, kemolekan tubuh adik-adikku yang mulai tumbuh pun tak dapat aku lindungi. Di petak ini ada dua laki-laki dewasa, yang notabene adalah suami-suami orang. Mereka dengan leluasa dapat melihat kulit telanjang kami kapan pun ketika kami lupa membenahi letak tidur atau lupa menutup kain pembatas. Rahasia pribadi pun tak ada lagi. Satu kata terlepas dari mulut kami, maka itu adalah milik publik. 

Untunglah aku masih sempat menyelamatkan televisi 14 Inch, hiburan kami satu-satunya. Hiburan gratis lainnya adalah ketika tengah malam terjaga, kami sering mendengar suara-suara dari kasur sebelah. Sungguh, aku tak mampu memilah kata untuk menjelaskan kepada Nisa, adik perempuanku yang masih SMP. Sedangkan Nurma, adikku yang sudah duduk di bangku SMA hanya mampu menutup telinga dengan bantal sambil menggerutu. Sampai kapan ia mampu menutup telinganya? Belum lagi pembicaraan cabul yang setiap hari besileweran.

Adikku sering bertanya maksud pembicaraan mereka. 

’’Hush! Anak kecil belum saatnya. Sana bermain saja!’’ kata Emak memungkas pertanyaan. Biasanya, lalu aku akan menggandeng adikku ke arah terminal di pasar dengan mengajaknya ngobrol hal-hal yang menyenangkan. Misalnya, enaknya rekreasi ke mana kalau punya duit? Dengan mata berbinar-binar ia akan menghitung dengan jarinya.

’’Ke mana ya….? Taman safari….? Jatim Park…? Sengkaling….?’’

Meskipun kami sama-sama tahu itu tak mungkin terjadi, tetapi membayangkan saja adalah sebuah kemewahan. Dengan sisa-sisa receh yang ada aku memanggil tukang es gronjom kemerahan untuknya, sekalipun aku tahu ini adalah pembunuhan secara perlahan. Ya, zat pewarna dalam es itu adalah pewarna kain. Aku tahu, tetapi siapa peduli? Lagipula, cuma sebegitulah daya beli kami. Orang-orang seperti kami harus selalu menipu mata dengan hal-hal yang atraktif, agar gelegak konsumerisme yang tiap hari dipicu oleh tayangan televisi dapat dibungkam. Bukankah lebih baik mati perlahan daripada mati mendadak karena lapar atau bunuh diri putus asa?

Kepergianku ke Jakarta, salah satunya adalah demi mengakhiri penipuan-penipuan itu. Bersama puluhan orang yang ingin memperjuangkan nasib, kami berjejal-jejal dalam gerbong kereta ekonomi. Semua ini dilandasi keinginan yang sama: segera hidup normal seperti sedia kala. Memiliki rumah, menanam palawija di halaman, menyiram bunga, memasak di dapur sendiri, meniduri kamar sendiri dengan kunci yang tak bisa diintip oleh orang lain, belajar di rumah sendiri walau hanya beralas tikar. Di dalam gerbong yang dipenuhi penjual asongan ini kami membicarakan strategi penyaluran aspirasi. Rohman selaku ketua rombongan memaparkan dengan berapi-api.

’’Kita akan menuju gedung DPR. Minta ketemu dengan ketua fraksi, fraksi apa saja. Dan kita harus atraktif supaya media massa tertarik meliput. Kalau tidak ditanggapi, kita akan demo di bundaran HI dan di tugu Proklamasi. Di sana akan bergabung para mahasiswa dan beberapa LSM. Ingat. Aksi ini harus berlangsung damai. Tidak boleh anarkhis. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Semua harus di bawah kendali saya selaku koordinator.’’

Gerbong kereta mendadak bergema oleh pertanyaan-pertanyaan dan diskusi yang berlangsung hingga tengah malam. Para perempuan rupanya lebih suka menjadi pendengar. Sedangkan para lelaki terus berdiskusi tanpa mengenal kantuk. Aku dan bu Min yang duduk satu bangku hanya manggut-manggut mendengarkan. Kami berdua setali tiga uang, sama-sama belum pernah mencicipi Jakarta. Sehingga perjalanan ini juga merupakan agenda terselubung untuk incip-incip udara ibu kota.

Belum tamat mataku memandangi Stasiun Senen tempat kami menginjakkan kaki di tanah Jakarta, Rohman berteriak-teriak agar kami segera menuju metro mini yang sudah disiapkan. Berjubel-jubel dalam sebuah metro mini tak membuat kami mengeluh. Yang ada malah tawa-tawa renyah saling mengejek kekampungan diri. Beberapa terpaksa berdiri, tetapi mereka semua nampak ceria. Begitupun aku. Namun, perhatianku lebih terfokus pada hiruk pikuknya jalanan. Tak terbayangkan betapa melelahkan seharian tercekat dalam kemacetan semacam ini. Penduduk Jakarta pastilah orang-orang tangguh bermental baja dan memiliki kesabaran superluas. Atau, jangan-jangan mereka tak peduli pada hal-hal yang terjadi di luar mobil mereka? Pak sopir hanya menyetir, penumpang hanya duduk dan melamun, memikirkan bagaimana uang dapat bekerja untuk mereka?

’’Jakarta… aku datang… akhirnya aku merasaimu…’’ begitulah suara hatiku bernyanyi bertubi-tubi, sebelum akhirnya Rohman berteriak lagi melalui megaphone.

’’Kita sudah sampai di gedung DPR. Semua turun dan siapkan peralatan masing-masing!’’ Yang dimaksud peralatan adalah kertas karton atau manila yang berisi coretan-coretan suara hati kami. Semisal :

’’BAYAR GANTI RUGI TANAH KAMI SEGERA’’

’’LUMPUR PORONG BUKAN BENCANA, TAPI KESALAHAN MANUSIA.’’

"ANGGOTA DPR JANGAN TIDUR SAJA. DI MANA HATI NURANIMU?’’

’’WARGA PORONG MENUNTUT HAK TANAH/RUMAH’’

’’PEMERINTAH BANCI! HANYA MEMIKIRKAN PARTAI SENDIRI!!’’

’’LUMPUR PORONG = TRAGEDI KEMANUSIAAN ABAD INI’’

’’PEMIMPIN RAKYAT TIDAK PRO RAKYAT …’’

’’LAPINDO HARUS BERTANGGUNG JAWAB!’’

’’LUMPUR MEMBUAT HIDUP KAMI HANCUR.’’

Masih banyak lagi coretan-coretan pelampiasan keluh kesah. Rohman mulai berteriak-teriak dengan megaphone pinjaman balai desa. Matahari terik dan kami belum sarapan, belum mandi. Beberapa jenak ber-orasi tanpa reaksi, membuat kami hamper putus asa. Tak ada perwakilan anggota DPR yang menunjukkan batang hidungnya. Keadaan berubah sesaat kemudian.

Entah dari mana datangnya, sebuah truk berisi para mahasiswa dengan jaket almamater bergabung bersama kami. Rohman menyambut mereka. Teriakan-teriakan membahana dan pasukan membesar. Beberapa saat kemudian satu bus datang. Kali ini bukan mahasiswa, melainkan orang-orang yang bersimpati pada nasib warga Porong. Mereka adalah gabungan beberapa LSM kemanusiaan di Jakarta. Keadaan makin riuh. Poster semakin banyak, kamera-kamera televisi berdatangan. Beberapa orang yang datang dari Jakarta justru lebih heroik dari pada kami yang kusut dan lapar.

Suasana memanas, beberapa orang memanjat pagar. Yang lain berteriak memaki-maki anggota DPR sebagai pihak yang dianggap tak becus mengurus rakyat. Pagar besi bergoyang-goyang terdorong oleh ratusan tangan. Lalu terjadilah apa yang Rohman khawatirkan…. anarkisme!! Amarah meluap-luap sekarang, beberapa mobil dan motor di halam parkir menjadi sasaran amuk masa. Kendali telah berubah. Entah pada tangan siapa. Tetapi jelas terlihat olehku, Rohman berdiri termangu memandang mobil-mobil berjumpalitan. Ia kehilangan mahkota kepemimpinan. Dan mimpi buruk segera terjadi. Ratusan personil menyemproti kami dengan gas air mata, beberapa suara tembakan ke udara menyiutkan nyali kami, khususnya para perempuan.

Aku dan Bu Min yang sejak tadi berdampingan tak dapat menyembunyikan kekalutan. Dengan perasaan ngeri dan jeritan-jeritan yang tak mampu tersimpan kami berlari menjauh tanpa melihat arah. Kami terus berlari, terus… hingga tanpa disadari kami sampai di taman ini. Yakin merasa aman dan jauh dari keributan, kami merebahkan diri diatas rumput dan hari sudah menjelang sore. 

’’Aku lapar,’’ suara bu Min lirih, menyentakkanku dari lamunan. Spontan aku mengarahkan pandangan ke sekeliling taman, mencari sesuatu yang bisa dibeli. Tak ada tanda-tanda. Dengan penuh penantian dan kesabaran kami berdua duduk manis diatas rumput, hingga mata kami menangkap dorongan ketoprak melintas. Penuh suka cita bu Min berteriak dan bertepuk-tepuk memanggil si penjual. Aku tak berani melakukan itu. Aku tahu tak ada bekal uang di kantong. Rohman yang seharusnya mengatur konsumsi kami. Untuk membayar kereta ekonomi pulang pergi Porong-Jakarta saja aku harus merelakan SPP kedua adikku. 

Kiamat itu segera datang saat wajah Bu Min menampakkan kebingungan.

’’Dompetku…. Di mana dompetku….? Di mana!’’

Cukuplah itu untuk melengkapi wajah duka. Kami berdua tak memiliki alat komunikasi apa pun untuk menghubungi Rohman atau anggota yang lain. Bahkan, kami juga tak tahu bagaimana nasib teman-teman.

Bulan bulat itu belum ingin pulang ke pembaringan, ketika dengan pikiran retak aku meletakkan diriku di atas rumput basah di taman. Hari telah menghias dirinya dengan kegelapan yang sempurna. Lampu-lampu taman memamerkan kecemerlangannya. Taman ini pun berganti situasi. Seorang laki-laki berjalan hilir-mudik tak jauh dari kami, sebelum akhirnya memutuskan berjalan ke arah kami. Dia sekitar 30 tahun dan terlihat segar. Wajahnya sopan, tersenyum nampak tulus.

’’Tinggal di mana Mbak?’’ 

Kami terdiam. Antara ragu dan bingung.

’’Kok malam begini masih di sini?’’

’’Atau… menunggu seseorang di sini?’’ perasaan tak nyaman mulai menggerayangi.

’’Nama saya Yono. Kalau butuh bantuan saya bisa membantu. Kalian tampak kebingungan.’’

Tiba-tiba Bu Min membuka mulut. ’’Kami kehabisan bekal dan terpisah dari rombongan.’’

Laki-laki bernama Yono itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, ’’Tidak usah bingung. Mari ikut saya. Di tempat saya banyak perempuan bernasib sama dengan kalian. Tapi akhirnya mereka enggan pulang, karena di sini segalanya bisa didapat dengan mudah.’’

 Bulan bulat itu belum ingin pulang ke pembaringan, ketika dengan pikiran retak aku meletakkan diriku di atas rumput basah di taman. Kali ini benar-benar retak. Darah di kepalaku seakan runtuh ke ujung kaki dan mataku berkunang-kunang. 


[Sby: Awal Juli 2008. Sekelumit kisah untuk menguliti duka] 
Ditulis oleh: Wina Bojonegoro


No comments