KAMI MEMAKSA MASUK SEBAB KAMI MERINDU



PINTU rumah pangsa lelaki muda itu masih separuh terbuka dan ia masih separuh masuk saat seseorang –aku-- mendorongnya dari belakang. Ia terjerembab hingga bibirnya dengan lancar mengecup lantai. Semua barang belanjaannya --makanan–makanan dalam kemasan yang sama recehannya dengan tempat tinggalnya ini-- tercecer ke berbagai sudut ruang. Belum sempat ia menoleh, dengan terbungkus sarung tangan, tangan kiriku sudah membekap mulutnya yang tak sigap berteriak minta tolong. Seandainya bisa melakukannya, mungkin percuma saja; di masa pemberlakuan karantina kewilayahan seperti sekarang, lingkungan tempat tinggal yang baru didiaminya sepuluh bulan ini sangat sepi, apalagi saat petang. Para penghuninya yang sejak awal hari sudah tidak banyak keluar-masuk, telah menutup rapat–rapat pintu rumah masing–masing. Dan kini, hanya dengan tangan kananku, aku meringkus kedua tangannya hingga terlipat di belakang punggung, sementara Jim menungkupkan tudung hitam ke kepalanya.

Seketika itu juga ia berontak, mencoba berteriak, dan aku pun membekapnya semakin kencang. Kemudian, meski dengan sedikit terengah–engah, aku mendesis kejam. 

”Diam! Jangan berteriak! Kau tentu tak mau ada petugas datang, lalu membaca tanggal yang tertera pada bukti pembelianmu itu, kan, Tuan Pembuat Permen?”

Tentu saja ia tak mau. Jika ada petugas yang datang lalu menemukan tanggal yang tertera pada bukti pembeliannya adalah tanggal hari ini, mereka akan tahu bahwa ia baru saja menyelinap keluar tanpa surat izin; ia bisa didenda, atau dipenjara selama dua minggu, hanya karena belanja tanpa memberitahu pihak berwenang terlebih dulu. Maka ia pun menggeleng. Cepat. 

”Bagus,” ujarku, “dengan demikian aku bisa dengan senang hati berhenti membekapmu.”

”Tapi mereka juga akan menemukanmu,” sahutnya segera setelah mulutnya kembali bebas. ”Mereka juga akan menangkapmu untuk alasan yang sama.”

”Mungkin,” ujarku dengan nada ringan, ”tapi hanya jika mereka bisa menemukan kami.”

”Kami?” ulangnya sambil menelan ludah. ”Maksudmu kau tidak sendiri? Dan apa artinya jika mereka bisa menemukan kalian?”

”Ah, Tuan Pembuat Permen,” ujar Jon, ”kami ini bisa menghilang. Seperti hantu. Kau percaya hantu, Tuan Pembuat Permen? Jika tidak, ini adalah waktu yang tepat untuk mempercayainya.” 

Jon lalu terkekeh geli, yang kemudian diikuti pula oleh Rob, Jim, dan Ted; aku yakin sekali, saat mendengar tawa kawan–kawanku itu bulu tengkuk lelaki tersebut, dengan saling berpegangan tangan, sepakat meremang. 

Bak memindahkan seonggok karung usang, walau diiringi napas yang menderu ringan, Ted mengangkat lelaki malang itu dari lantai, kemudian mendudukkannya di atas sofa tuanya yang menyedihkan. 

”Dengar,” ujarnya terbata–bata, setengah meringkuk di atas sofa, ”kita tak perlu seperti ini, ambil saja yang kauperlukan, lalu pergilah dari sini. Aku ada sedikit simpanan di lemari—”

Kalimatnya terhenti di situ. Kegelapan yang menyelimutinya berganti terang lampu rumah kecilnya yang dinyalakan Jim; aku mengangkat penutup kepalanya, hingga ia bisa melihat kami: lima orang lelaki berpakaian serba hitam, berpenutup kepala dengan lubang di bagian mata, bersarung tangan, dan, gemuk. Ya, gemuk --tapi, itu tak apa–apa, kami sudah tak wajib menjaga berat badan setelah kami memasuki masa purnabakti sebagai anggota Pasukan Khusus Angkatan Laut --Pasukan Hantu-- kami, sementara ia, untuk menghindarkan diri dari kewajiban menatap kami, menebarkan pandangan ke seluruh sudut tempat tinggalnya yang hanya berisi sebuah tempat tidur, lemari pakaian, sofa tua dan meja kecilnya, meja besar tempatnya berkreasi membuat beraneka permen keras, gula–gula, manisan dan gulali, kompor listrik, dan terutama, lemari pendingin besar tempatnya menyimpan hasil olahannya. Suara tetesan air yang keluar dari keran di kamar mandi yang tak dapat ditutup rapat sampai di telinga kami. Selain itu tak ada. Suasana nyaris hening ini membuatnya salah tingkah.

”Dengar,” ujarnya, ”sekali lagi kukatakan, aku ada sedikit simpanan uang di lemariku. Ambillah, lalu segeralah pergi dari sini. Kumohon.”

Seketika itu juga Rob, Jim, Ted, dan Jon tertawa. 

”Tepat seperti dugaanmu, Sal, ia menawari kita uang,” ujar Jim. 

”Jangan sebut nama! Kau lupa?!” sahutku. 

”Maaf. Aku terlalu lama tak mengulum truffle cokelat yang nikmat. Otakku lengket seperti karamel.”

Aku mendengus.

”Kami tidak ingin uangmu, Tuan Pembuat Permen,” ujarku pada lelaki itu. ”Uang pensiunan kami lebih besar dari hasilmu mengaduk gulali berpanci–panci. Dan, lihatlah tempat ini! Selain mungkin lemari es lanjut usia itu, adakah barang yang bisa diincar pencuri? Apalagi sekarang kau tidak bisa ke mana–mana untuk mencari uang. Apa yang yang bisa diambil dari sini?”

”Jika kalian tak mau uang, lalu apa? Kalian mau apa?” tanyanya. 

Kami berlima saling pandang. Lalu aku mendekat selangkah ke arahnya dan berkata dengan sunguh–sungguh. ”Kami hanya ingin kau mengeluarkan persediaan permenmu yang berharga itu untuk kami.”

”Apa?”

Aku merasa keheranannya sama sekali tak perlu; kami hantu, masih tetap hantu, dan hantu bisa menerobos dinding dan melongok ke tempat–tempat yang terkunci rapat, untuk mengetahui bahwa ia masih menyimpan beberapa karya terbaiknya di sini.

”Kau dengar kami, Tuan Pembuat Permen! Jangan pura–pura bodoh!”

”Tentu. Tentu. Tapi, kenapa?”

”Kau tahu betapa membosankannya beberapa waktu belakangan ini, kan?” ujarku. ”Harus tetap tinggal di rumah, mencuci tangan setiap detik.”

”Dan yang terburuk, tak bisa makan di Doux Souverain Confectionery, surga kecil kami berlima!” ujar Jim. ”Tidakkah kau tahu, itu sangat menyiksa? Kami biasa menguyah penganan manis bersama–sama di sana, dan sekarang kami tidak lagi bisa melakukannya!”

Aku yakin sesuatu dalam dirinya mendadak nyeri saat kami menyebut nama tempat itu, tapi ia berhasil menutupinya, meski tetap menelan ludah.

”Tapi,” ujarnya, ”tapi, ada internet. Tidakkah kalian tahu itu? Internet? Kalian bisa membeli kudapan apa saja secara daring.”

”Kami tahu apa itu internet, Orang Muda!” ujarku. ”Jangan berpikir bahwa kami setara dengan manusia gua! Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa digantikan layanan daring: celoteh kawan yang duduk makan bersamamu, embusan angin yang menerpa wajahmu saat kau mengelus perutmu yang telah terisi penuh --kau mengerti itu?”

Perlahan ia menganggukkan kepalanya --mungkin karena terpaksa, tapi siapa peduli dengan alasannya?

”Nah!” ujar Jim dengan nada puas. ”Nah!” 

”Lagipula, siapa orangnya di internet yang bisa menandingi kau, Tuan Pembuat Permen Bertangan Dingin yang Salah Langkah?”

Pembuat Permen Bertangan Dingin yang Salah Langkah, ya, benar, itu gelarnya sekarang. Sebelum ini ia pernah menjadi Pembuat Permen Ternama, lebih lengkapnya Pembuat Permen Ternama dari Doux Souverain Confectionery, surga bagi pecinta segala sesuatu yang berasa manis di seantero jagat raya --atau, seperti kata Jim, surga kecil kami-- tempatnya mendapat pengalaman dan ketenaran, sebelum dengan gegabah memutuskan untuk menjadi Pendiri Toko Permen, lebih lengkapnya Pendiri Toko Permen atas Namanya Sendiri dua tahun lalu; hasilnya, ia pun merugi besar–besaran, terlilit hutang, dan di sinilah ia sekarang, semakin terpuruk saat wabah ini datang. 

”Ya, baiklah,” ujarnya pasrah. ”Tapi, kenapa tidak menghubungi dulu, lalu kita bisa membuat janji.”

”Dan melewatkan terkaman adrenalinnya yang senikmat lelehan toffee di lidah?! Hah! Ayolah! Apa kau tak jenuh dengan keadaan ini?”

”Ya, tentu saja.”

”Jadi, tunggu apa lagi?! Ayo sekarang juga, mulailah! Keluarkanlah harta terpendammu! Berilah kami kebahagiaan kecil yang terampas selama musim penyakit ini, wahai Tuan Pembuat Permen! Hingga seandainya kami harus berakhir sebentar lagi, kami akan berakhir dengan bahagia!”

Si Pembuat Permen itu tak akan pernah bisa menjelaskan, bahkan pada dirinya sendiri, bagaimana ia bisa luluh meluluskan permintaan kami. Mungkin karena --diawali oleh Rob kemudian diikuti lainnya, dan terakhir aku-- kami tiba–tiba saja bersimpuh di hadapannya seraya membuka penutup kepala kami, memperlihatkan dengan jelas bekas ketegasan masa muda yang kini kuyu sebab merindu gula. 

Ia membiarkan kami duduk mengelilingi mejanya, melahap tuntas semuanya. Lelehan aneka krim yang melumasi sudut–sudut bibir melancarkan ocehan kami tentang masa lalu, diiringi desahan, ”Aaahhh, Uuuhhh, Wooowww,” yang muncul pada setiap suapan, setiap kulum, setiap gerak mengunyah, hingga binar sukacita memancar di wajah kami.

Kami melakukannya semalaman, hingga tak terasa pagi menjelang. Si Pembuat Permen berjalan ke arah jendela, kemudian berdiri seraya melipat tangan. Sinar mentari menerobos masuk melalui jendela itu, setelah lebih dulu menyapu jalanan depan rumah pangsa ini dan deretan bangunan lainnya yang masih terlihat sepi. Tapi, bukankah mereka akan tetap sepi bahkan hingga jam kerja nanti? Ia menghela napas, tergulung ombak ketidakberdayaan. Rob menghampiri dan menepuk pundaknya. Ia menoleh.

”Menurutmu segala sesuatunya akan kembali seperti semula jika semua ini berakhir?” ujar Rob, ikut menatap ke luar jendela.

Ia menggeleng. ”Tidak.”

”Ya, aku juga berpikir begitu. Jika getah telah dioleskan di lidahmu, gula yang kemudian melewatinya tak akan begitu terasa manisnya.”

Ia mengangguk perlahan. 

”Baiklah, Tuan Pembuat Permen, kami harus pergi sekarang sebelum petugas patroli memergoki,” ujarku.

”Dan sebelum kami tertidur di sini karena mata kami diberati gula,” lanjut Jim. 

Kami tertawa. 

”Terimakasih,” Rob kembali menepuk pundaknya. 

”Ya, benar,” ujar yang lainnya, ”terimakasih.”

Ia menoleh ke arahku yang mengganti ucapan terima kasih dengan senyum lebar dan acungan kedua jempol. Aku kemudian menuju ke arah pintu, menyusul keempat kawanku yang telah lebih dulu menghilang di  lorong rumah pangsa ini. 

Aku bisa mendengar ia kembali menarik napas dalam, lalu menggerakkan pintu untuk menutupnya --namun gagal; tanganku menahan lajunya.

”Tunggu sebentar,” ujarku. Ia menatapku dengan pandangan bertanya. ”Di mana kau simpan uangmu, Tuan Pembuat Permen? Tadi kau menawarkannya, bukan? Boleh aku mengambilnya? Aku belum sempat mencairkan cek pensiunku ke bank.”*


***



Metta Mevlana (IG: mett_am) lahir dan tinggal di Surabaya, telah menulis sebuah memoar pendek dan beberapa antologi fiksi dan nonfiksi. Antologi cerpen terkininya adalah Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini, Labirin 25, dan Anomali bersama penerbit Padmedia. Buku solonya yang berjudul Kawan para Elang Laut telah terbit di 2023.


No comments