![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Arman menghentikan mobilnya di bawah pohon rindang, di depan sebuah pusat perbelanjaan. Ditatapnya telepon genggam yang terbuka pada aplikasi transportasi online, dengan namanya sebagai mitra pengemudi. Tak ada orderan. Dia membohongi Danti—istrinya—ketika tadi bergegas keluar rumah. Dia hanya ingin istrinya mempunyai harapan.
Setelah pemutusan hubungan kerja enam bulan lalu dari
perusahaan tempatnya bekerja, Arman segera banting setir menjadi supir taksi online. Danti tidak memberinya waktu
untuk diam berpikir terlalu lama. Setiap hari ada saja keluhannya. Tabungan
mereka dari gaji selama ini memang tak terlalu banyak, sementara anak
satu-satunya tahun ini masuk perguruan tinggi. Dengan harga kebutuhan sehari-hari
yang semakin mahal, tabungan itu cepat sekali susut. Danti tidak tahu, ketika
Arman berkeliling setiap hari menjalankan mobilnya, lebih sering tanpa
penumpang. Berhenti menunggu seperti ini adalah siasat untuk menghemat bensin.
Tiba-tiba, aplikasinya berbunyi.
Arman segera menekan kata “YES” pada orderan masuk tanpa berpikir panjang. Dia
menyetir ke sebuah alamat tak jauh dari pertokoan tempatnya menunggu. Mendekati
tujuan, hatinya dihinggapi rasa ragu.
Rumah tempat dia menjemput pelanggannya tampak kumuh.
Temboknya menghitam dan mengelupas di banyak titik, tanaman di halaman
berantakan tak terawat, pagar pun berkarat seperti tak berpenghuni.
Dihentikannya mobil di depan pintu pagar, bersamaan dengan dering yang muncul
dari telepon genggamnya. Sang pelanggan,
“Halo, Mas, Anda turun ya. Buka saja
pagarnya, tak dikunci. Mas ambil paket
di teras rumah. Tolong antarkan paket itu ke alamat pengirim, ya,” kata
suara serak di ujung telepon itu.
“Loh, jadi saya bukan menjemput
Bapak? Paket apa, Pak? Saya tidak mau Pak, kalau tidak jelas apa yang harus
saya antarkan.” Jantung Arman seperti
terhenti. Dia merasa akan terlibat masalah besar. Apakah narkoba? Atau bom?
Pikirannya menerka-nerka tak tentu. Di matanya, terbayang adegan-adegan di film
laga.
“Antarkan saja, nanti saya beritahu.
Saya sudah simpan nomor Anda, lo. Kalau dibatalkan, saya tetap akan terus
menelpon Anda!” Suara itu semakin serak dan terbatuk-batuk. Arman terdiam
sambil berpikir.
“Begitu, ya, Mas! Halo, kok, diam? Kan ini ongkos kirimnya
juga mahal, jaraknya jauh.” Penelepon itu melanjutkan, lebih memaksa.
Arman teringat beberapa jam yang sepi penumpang, teringat
Ardan—anak satu-satunya—hatinya bimbang. Takut, tetapi lebih takut akan harus
menunggu orderan berikutnya yang belum tentu kapan datangnya. Menit-menit
berikutnya, Arman menjalankan mobil sambil menyusun rencana. Digapainya besi
panjang di bawah kursi pengemudi, yang selalu disiapkan untuk membela diri dari
gangguan orang-orang bermaksud buruk. Diingat-ingatnya google maps letak pos polisi terdekat dari tempat pengantaran
paket. Otaknya bekerja keras mencari berbagai jalan penyelamatan diri,
punggungnya basah keringat dingin.
Tujuan pengantaran paket telah
tampak di sisi kiri. Berpagar hijau pupus, dengan pohon mahoni di depannya.
Agak tertutup dedaunan mahoni, ada sebuah papan bertuliskan: PANTI WERDHA
“BAHAGIA”.
Kening Arman berkerut. Dia semakin bingung, pikirannya
bertanya-tanya. “Narkoba untuk orang jompo? Masa iya? Perawatnya pecandu?
Transaksi terselubung?”
Bergegas ditemuinya seorang lelaki
tua di halaman panti yang sedang menyirami kamboja jepang dari sebuah kursi
roda. Satu-satunya orang yang bisa dia tanyai di situ.
“Maaf, Pak. Mmm,
saya …, saya mencari Pak Darko. Bisa saya titip saja pada Bapak? Saya
terburu-buru, ada urusan lain.” Salah satu siasat yang tadi sibuk dirancangnya
untuk kabur dari masalah. Lelaki tua itu mematikan selang penyiram tanaman di
tangannya, memandang tajam pada Arman.
“Saya Darko!”
Arman merasa tertangkap basah. Jika ingin lari, maka harus
saat itu dia lari tanpa berbasa basi, begitu pikirnya. Paket di tangan
dijatuhkannya di pangkuan pak Darko. Kakinya mulai diangkat hendak berlari,
ketika suara serak itu menghentikannya.
“Kenapa lari? Takut? Paket ini untuk
Anda!”
Arman
menolehkan kepala pada Pak Darko, terpaku di pijakannya.
“Apa, Pak?”
“Untuk
Anda! Paket itu isinya uang. Hasil penjualan rumah kumuh tempat Anda ambil
paket tadi. Itu rumah saya, kosong. Saya tidak bisa ambil paket itu sendiri.
Lihat saya. Lumpuh. Yang beli rumah maunya bayar cash, tidak mau transfer dan tidak mau datang ke sini. Saya tidak
tanya juga kenapa, yang penting rumah itu laku. Jadi, ya begitu, lewat Anda.
Transaksi yang aneh, memang. Tidak heran Anda takut.” Pak Darko terkekeh dan
terbatuk-batuk. Arman melongo saja.
“Ambillah.”
“Bapak
serius? Kita tidak kenal, Pak. Bapak ini aneh.”
“Saya tidak butuh uang itu. Buat apa? Umur 70 tahun, tidak
ada anak. Tinggal di rumah jompo. Sebentar lagi juga mati. Saya cuma ingin
bertemu dengan orang yang mengantar paket ini, siapa pun yang Tuhan pilihkan
untuk ini. Ternyata Anda orangnya.” Arman berjongkok di hadapan Pak Darko,
lemas.
“Tampaknya
Anda orang baik. Terima kasih, ya. Anggap itu ongkos rasa takutmu.” Senyum Pak
Darko mengembang, tangannya menepuk pundak Arman.
Kehilangan kata-kata, Arman berusaha mencerna peristiwa itu.
Pertarungan hidup yang keras, dan Tuhan yang terasa bercanda dalam menjawab
doa. Wajahnya ditundukkan, bertumpu pada lengan, basah air mata.
~Endang P. Uban
Terinspirasi oleh lagu berjudul Wild World oleh Mr. Big
Editor: Ihdina Sabili
No comments