![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Namun, juga tidak terlalu
lama untuk bisa membuatku lupa. Mana mungkin aku bisa segera menghapus semua
kenangan tentang dia, setelah ribuan pelukan, ratusan ciuman, serta puluhan
malam-malam itu. Mana bisa aku menjauhi dan melupakan dia secepat itu, seketika
itu, sesegera itu. Meski aku harus.
Setiap kali berangkat ke kantor, aku selalu melewati
tempat-tempat rahasia kami berdua. Ada kafe yang kopinya paling enak sedunia
bagiku—karena kuminum bersamanya, ada restoran dengan nasi goreng kecombrang
paling lezat bagiku walaupun dia begitu membencinya, juga sebuah toko buku yang
memiliki rak-rak berjajar tinggi di mana kami bisa bercanda sambil berpelukan
di antaranya. Satu tahun penuh kami menjalani kedekatan itu tanpa merasa ragu
sedikit pun. Tahun terakhirku di kampus yang penuh dengan keajaiban cinta.
Lalu setelah menerima sebuah telepon di suatu siang, aku
seolah dihempaskan dari puncak gunung langsung ke dasar lautan. Seorang
perempuan bernama Dea, yang mengaku sebagai istri Gara, memintaku berhenti
menemui suaminya. Tutur katanya halus, nada suaranya lembut, tanpa memaksa. Ia
seolah hanya bercerita. Tak ada nada-nada tinggi yang mengentak dan memaksaku
untuk menjauh.
Dia hanya berkata pelan: dirinya sudah tahu. Selama itu,
dia hanya mencari waktu yang tepat. Siang itu, ketika Gara sedang berada di
Singapore selama dua minggu untuk pelatihan matematika yang lebih rumit dari
yang materi ajarnya, Dea memutuskan untuk menghubungiku.
Bukannya aku tak pernah tahu ada seseorang bernama Dea
di ujung sana, di ujung kehidupan Gara yang lain. Aku tahu pasti lelakiku sudah
memiliki pendamping hidup. Aku tidak merasa mengusik kehidupan mereka. Toh, aku
selalu bertemu dengan dosen mata kuliah matematikaku itu hanya di kala luang.
Aku juga tidak pernah memaksa Gara untuk berpisah dengan Dea. Aku tidak pernah
menuntut lebih. Aku hanya menawarkan cintaku, merawat dan menumbuhkan sepotong
cintaku kepadanya. Dan Gara membantuku, itu saja.
Hanya saja, siang itu, kelembutan Dea membuatku tahu
bahwa aku tak memiliki Gara sepenuhnya. Aku cemburu kepada kasih sayang yang
dicurahkannya untuk Gara. Baru kali itu, aku ingin memiliki semua.
“Saya cuma ingin kalian tak lagi bertemu,” ujarnya kala
itu. Lembut, perlahan, dan sederhana.
Aku sempat tak tahu harus menjawab apa, tetapi aku
merasa harus membela diri. “Tanyakan pada Gara apakah dia juga tidak ingin
bertemu lagi.”
Lama, dia membisu. Namun, aku tak juga mendengar isakan.
Apalagi bentakan. Dia cuma diam.
Aku merasa lelah mendengarkan kesunyian. Lalu aku
berkata, “Aku dan kamu tidak saling mengganggu. Waktumu dengannya tidak pernah
kuminta. Maka jangan meminta yang tak berguna.” Kututup teleponku.
Setelah hari itu, dia tak pernah menelepon lagi. Hingga
Gara kembali dari Singapore, dia tak pernah mengusikku lagi. Namun, setelah
itu, Gara menjauh. Semakin jauh. Aku bertanya mengapa, Gara tak pernah
menjawab. Lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan-pesanku. Beratus-ratus
panggilan pun tak terangkat. Di kampus, aku juga tak pernah lagi bertemu
dengannya karena tak ada mata kuliahnya yang harus kuikuti. Mencarinya di ruang
dosen tanpa ada alasan perkuliahan pun sungguh tidak mungkin kulakukan. Itu adalah
bagian dari perjanjian kami sebelumnya, untuk tidak saling mengganggu di
kampus.
Pesan terakhir yang kuberikan kepada Gara cukup singkat.
“Aku tak akan lupa.”
Itu saja. Pesan yang tak pernah berbalas. Namun, aku
tahu dia membacanya. Di pesta kelulusan wisudaku, sebuah keranjang bunga
terkirim kepadaku dengan sebuah tulisan tangan yang sangat kukenali. “Aku tak
akan pernah lupa juga.” Begitu saja, tanpa nama. Aku tak perlu mencari tahu
siapa.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat bisikan bahwa Gara
sudah memiliki seorang bayi perempuan mungil, anak pertamanya. Ternyata, dia
memiliki alasan yang sangat kuat. Alasan yang sebenarnya ingin kumiliki
darinya. Alasan yang seharusnya bisa kumiliki darinya bila hubungan itu
berlanjut hingga aku lulus. Aku rela memiliki beberapa alasan seperti itu asal
selalu bersamanya.
Kemudian, takdir bercanda denganku. Sekali lagi dalam
hidupku, aku berjumpa dengannya. Baru saja. Aku melihatnya tepat di depan
mataku. Gara pun melihatku dan sangat terkejut saat aku memandangnya lekat.
Perjumpaan di pusat perbelanjaan terkemuka yang paling ramai di Surabaya telah
membuat kami hanya bisa berpandangan sejenak. Dalam dan lama. Di
sampingnya—seorang perempuan yang aku yakin adalah Dea—sedang berjongkok dan
membujuk seorang gadis kecil yang memiliki paras bagai pinang dibelah parang
dengan Gara. Ketika Dea mendongak dan mengikuti arah pandang Gara, aku memilih
berlalu.
Cukup sepotong cinta ini
saja yang kusimpan rapat-rapat. Serapat rahasia telepon dari Dea yang tak
pernah kuceritakan kepada Gara. Serapat kenanganku di Singapore ketika menerima
telepon dari Dea; pada saat Gara sedang memelukku erat. []
~windyeffendy
Terinspirasi oleh
lagu
Ada Rindu oleh Evie Tamala
#nulisbarengperlima
#songfictionperlima
#fiksiminiperlima
#adarindu
#hanyasepotongcinta
#windyeffendy
Editor: Ari Pandan
Wangi
No comments