Jejak di Pasir Pulau Kelapa

 

ilustrasi dibuat oleh AI

Zara duduk di tepi pantai, membiarkan jemarinya menelusuri pasir yang terasa kasar. Tiba-tiba, angin laut datang membawa aroma asin yang bercampur dengan bau amis sampah. Sontak tangannya menutup hidung. Tatapan gadis konten kreator pemerhati lingkungan itu terarah ke ombak yang bergulung pelan, membawa serta plastik-plastik yang mengapung seperti ubur-ubur mati. Sejak kapan laut seindah ini berubah menjadi tempat sampah raksasa?

Di sampingnya, Pak Samad—mantan Kepala Desa—mengusap kelapa di tangannya, lalu menghirup dalam-dalam aroma khasnya.

"Dulu, aku bisa duduk di sini sambil mendengar suara burung camar dan anak-anak bermain air. Sekarang?" Ia melempar pandangannya ke tumpukan botol plastik yang berserakan di bibir pantai. "Yang terdengar hanya derak sampah diempas ombak."

Zara merapatkan jaketnya. "Bapak tetap bertahan di sini?"

Pak Samad menoleh. Senyum kecil terbentuk di wajah lelaki penuh keriput yang telah puluhan tahun tinggal di pulau ini. "Kalau bukan aku, siapa lagi? Pulau ini butuh orang yang masih peduli."

Matahari kian meninggi. Zara menelusuri pantai dengan kamera tergantung di lehernya. Ia merekam sampah yang terjebak di akar mangrove, botol-botol plastik yang setengah tertimbun pasir, serta sekelompok nelayan yang sedang mengeluarkan jaring. Di depannya seorang nelayan memilah jaringnya, menunjukkan hasil tangkapan yang didominasi sampah pada temannya.

"Dulu ikan di sini berlimpah. Sekarang? Plastik lebih banyak dari ikan!"

Zara mendengar jelas obrolan para penakluk samudra itu.

Di tepian hutan mangrove, Zara melihat seorang anak kecil duduk di atas perahu tua yang catnya mulai mengelupas. Bocah itu menggoyangkan kakinya ke dalam air sambil mengamati sebuah kepiting kecil yang berusaha keluar dari jaring plastik. Dengan hati-hati, ia melepaskan kepiting itu dan membiarkannya kembali ke lumpur. Zara tersenyum kecil, melihat harapan di mata anak itu.

Sore harinya, warga desa berkumpul di balai desa. Sebuah perusahaan asing datang dan mengusulkan pembangunan resor mewah, menjanjikan lapangan kerja dan fasilitas modern.

Perwakilan perusahaan tersenyum meyakinkan. "Ini adalah peluang besar untuk meningkatkan ekonomi pulau ini."

Pak Samad berdiri, suaranya bergetar. "Apa yang kalian bawa bukan kemajuan, tapi kehancuran. Tanah kami akan diambil, laut kami akan lebih rusak. Bagaimana dengan anak cucu kami? Tak akan punya tempat lagi di rumah mereka sendiri."

Keheningan menyelimuti ruangan. Zara melihat beberapa warga mulai ragu. Mereka butuh uang, tetapi apakah pantas mengorbankan pulau mereka?

Malam itu, Zara duduk di tepi pantai bersama Pak Samad. "Bagaimana kita bisa melawan mereka, Pak?"

Pak Samad menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. "Bukti. Dunia harus melihat apa yang terjadi di sini."

Esoknya, Zara dan warga mulai mendokumentasikan kondisi pulau dengan lebih serius. Ia menyusuri hutan mangrove yang dulunya lebat, kini gundul. Ia berbicara dengan ahli lingkungan yang menjelaskan bagaimana hutan ini mampu menyerap karbon empat kali lebih banyak dibandingkan hutan biasa. Ia menyelam untuk merekam terumbu karang yang kini memutih dan mati akibat polusi.

Ia mengunggah video tersebut dengan pesan mendalam: Ini bukan hanya tentang sebuah pulau kecil. Ini tentang bagaimana kita memperlakukan bumi kita.

Video itu meledak di media sosial. Berita mulai bermunculan, tekanan publik meningkat. Perusahaan terpaksa menunda proyek resor mereka. Pemerintah daerah akhirnya turun tangan, meninjau ulang izin proyek yang sebelumnya disetujui tanpa kajian lingkungan yang memadai.

Namun, perjuangan belum usai. Warga mulai melakukan aksi nyata. Mereka membersihkan pantai setiap minggu, menanam kembali mangrove, dan membuat kampanye edukasi lingkungan untuk anak-anak desa. Zara merekam setiap langkah mereka. Ia memperlihatkan bahwa perubahan bukan hanya sekadar protes, tetapi juga tindakan nyata.

Bulan demi bulan berlalu. Kini, anak-anak yang dulu hanya melihat sampah di pantai mulai belajar cara menjaga lingkungan. Di sekolah desa, mereka membuat mural besar yang menggambarkan laut biru tanpa sampah. Seorang bocah laki-laki menggambar tangan kecilnya di sudut mural, menuliskan dengan huruf besar: Pulau ini rumah kita.

Tahun demi tahun berlalu. Kini, Pulau Kelapa berubah lebih hijau. Zara kembali ke pantai itu, menghirup udara yang lebih segar. Ia berjalan menyusuri pasir putih yang kembali bersih, mendengar suara riak ombak yang kini lebih jernih. Seorang gadis kecil berlari di tepi pantai, tertawa lepas sambil mengejar burung camar. Gambaran yang dulu hanya ada di cerita Pak Samad, kini nyata di depan matanya.

Ia menatap laut yang kini lebih hidup, dengan perahu-perahu nelayan yang kembali melaut, mencari ikan di perairan yang lebih bersih. Di kejauhan, matahari terbenam, meninggalkan jejak cahaya keemasan di pasir. Jejak yang bukan hanya milik Zara, tetapi juga milik mereka yang percaya bahwa harapan masih ada bagi bumi ini. Pak Samad menghampirinya, langkahnya lebih lambat dari terakhir kali mereka bertemu. "Apa rencanamu sekarang, Nak?"

Zara tersenyum. "Terus berjuang. Karena perubahan dimulai dari langkah kecil, dan kita tidak boleh berhenti." Dengan langkah mantap, Zara mengambil kameranya, merekam pemandangan indah di hadapannya. Perjuangan ini baru saja dimulai.

 

 

~febriyantids

 

Terinspirasi oleh lagu berjudul Rayuan Pulau Kelapa oleh Ismail Marzuki

 

 

#nulisbarengperlima

#songfictionperlima 

#fiksiminiperlima

#rayuanpulaukelapa

#jejakdipasirpulaukelapa

 

Editor: Ihdina Sabili

No comments