![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Mentari
menyapa hangat pagi itu, menggantikan dingin semalam setelah hujan. Sinarnya
menerobos jendela pantry kantor saat
Rina menyeduh kopi, lengkap dengan krimer dan sedikit gula. Ia duduk sejenak
menikmati kopi sebelum jam kerja dimulai. Sudah hampir dua bulan, fresh graduate D-3 Manajemen Administrasi
itu menjalani training sebelum
diangkat menjadi staf tetap.
"Kok,
beda rasa sama bikinan Mas Moko, padahal racikannya sama," gumam Rina.
"Tinggal
minta tolong dibikinin OB kesayangan, dong," sahut Rika,
rekan sekantor Rina.
Lelaki
itu bernama Widyatmoko, yang lebih sering dipanggil Mas Moko. Ia adalah Kepala Office Boy (OB) di kantor tempat Rina bekerja. Wajahnya teduh, senyumnya manis,
pekerja keras khas pria Jawa. Rina tidak ingat awal mula saat ia dan Moko
dijodoh-jodohkan oleh rekan sekantor. Bisa jadi karena keduanya masih jomlo.
Rina santai saja menanggapi candaan mereka. Sementara, semakin hari semakin ada
debar halus di hati Moko saat berhadapan dengan Rina.
Jatuh
cinta laksana hujan. Dia akan tiba kapan saja tanpa bisa ditahan. Kepada siapa
cinta jatuh dan apakah akhirnya akan berlabuh, hanya Tuhan yang tahu. Moko
sadar yang bisa dikendalikan saat ini adalah tindakannya, akan mengungkapkan
atau memendam rasa. Pikiran dan hatinya bertarung. Dalam benaknya terlintas
bahwa itu tak pantas karena profesi yang sangat berbeda, sementara sanubarinya
berteriak bahwa ia juga layak untuk dicintai tanpa tapi.
Pukul
16:00 pun tiba. Semua karyawan kantor berkemas kecuali Rina. Ada pekerjaan yang
harus diselesaikan hari itu juga.
"Ini
kopinya, Mbak." Moko menyuguhkan kopi tanpa Rina minta.
"Makasih,
Mas."
Pukul
17:30, Rina mulai berkemas. Bekerja pasti membuatnya tak menyadari gerimis yang
turun sedari tadi. Sialnya ia lupa tidak membawa jas hujan. Rina memutuskan
menunggu, langkah kaki membawanya ke pantry.
***
Dua
detik pandangan mereka bertemu saat Moko meletakkan kopi di meja Rina. Debar
hati Moko tiba-tiba berhamburan. Segera saja saat itu Moko mengalihkan
pandangan, lantas bergegas kembali ke pantry.
Moko sengaja menunggu sampai Rina selesai dengan pekerjaannya.
Ketika
jam dinding pantry sudah menunjukkan
pukul 17:30, sosok gadis yang sedari tadi menari di benaknya pun muncul.
"Belum
pulang, Mas?" tanya Rina setelah menyadari keberadaan Moko.
"Belum,
Mbak, hujan." Moko beralasan.
Keberanian
yang Moko kumpulkan sedari tadi, kini sedang dipertaruhkan. Moko merasa saat
itu adalah momen yang tepat untuk mengungkap cinta. Hanya mereka berdua di ruangan
itu. Kesempatan tidak selalu datang dua kali, bukan?
"Mbak,
sudah punya calon?" Moko terkejut sendiri mendengar kalimat itu tiba-tiba
terlontar dari mulutnya.
"Udah,
Mas. Cuma belum ketemu calonnya yang mana."
Jawaban
Rina seolah membuat pintu gerbang lebih terbuka untuknya. "Maaf saya
lancang, Mbak,” kata Moko perlahan, “kalau … boleh, saya pengin daftar jadi calon suami
Mbak Rina."
Hening
seketika. Moko merasa ada ketegangan terjailn di udara antara mereka. Terlihat
sosok gadis di hadapannya sedikit terkejut. TEntu saja, Rina pasti tak siap
dengan pertanyaan mendadak seperti itu. Moko tahu pasti Rina sedang berpikir
keras. Untuk langsung menolak tentunya ia sungkan, untuk menerima juga sepertinya
mustahil Namun, Moko tetap berharap ada keajaiban.
"Kita
saling mengenal dulu saja, Mas. Aku tidak menolak, tapi juga tidak
mengiyakan." Jawaban yang terlontar dari mulut Rina membuatnya tersenyum.
***
Moko
mendadak resign tepat sehari sebelum
Rina diangkat menjadi staf tetap. Rina yang mulai nyaman merasa kehilangan,
meski hubungan mereka masih sebatas teman dekat. Komunikasi keduanya seketika
terputus. Moko seperti hilang tanpa jejak. Sengaja Moko tidak menghubungi Rina,
sementara Rina pun gengsi memulai. Rina mendapat kabar dari HRD, Moko beralasan
resign karena diminta ibunya mengurus
sawah warisan kakeknya. Rina merasa alasan itu terlalu dibuat-buat. Ia seakan
ditinggalkan tanpa kejelasan.
Yang
Rina tak tahu, Moko yang kala itu resign
mendadak ternyata lulus seleksi CPNS formasi penjaga tahanan, kualifikasi
lulusan SMA. Tidak ada yang tahu kenyataan ini kecuali keluarga Moko. Sengaja Moko
menyembunyikan dari Rina. Moko ingin memantaskan diri sebelum bersanding dengan
Rina. Memperdalam ilmu agama dan menebalkan tabungan adalah targetnya sebelum
ia melamar sang pujaan.
***
Sebuah
sore yang gerimis menandai satu tahun yang berlalu. Moko sudah tidak tahan
membendung rindu. Ia berdiri di seberang kantor Rina. Seorang gadis berada di
depan kantor lamanya itu. Sosok yang dirindukannya.
Sambil
membawa payung hitamnya, Moko menghampiri Rina. Bulir kristal meluncur di
pipinya tanpa aba-aba.
“Rina, maafkan aku yang
pergi tanpa kabar berita.”
"Ke
mana saja kamu, Mas?" kata Rina dengan nada tertahan.
"Aku
menjaga tahanan, Rina, sebelum menjaga kamu jadi istriku."
Moko
yang dulu berseragam OB kini datang dengan penuh berkarisma. Sore
yang indah setelah setahun terakhir tanpa percakapan dan pertemuan.
Rina
tersenyum memandang Moko di hadapannya. “Ternyata, kamu tetap menawan hatiku selama ini?”
“Tentu saja. Jadi, kamu rela
menjadi tahanan di hatiku?” tanya Moko sambil
mengulurkan tangan kepada Rina.
Gerimis
telah berlalu tanpa mereka sadari. Hanya genggaman hangat tangan Rina yang
terasa di hati Moko.
~Intan
Aida
Terinspirasi
oleh lagu berjudul : When You Tell Me
That You Love Me (Westlife feat Diana Ross)
Editor:
Windy Effendy
No comments