Kabur Sejenak Melupakan Dapur

Ditulis oleh Titie Surya 


Yang terlintas dalam pikiran tiap kali mendengar kata camp alias kamping adalah aktivitas di sebuah tenda, di tanah lapang terbuka. Tidur berdesakan dalam ruang beralas tikar atau karpet yang membentang di atas tanah. Begitulah kamping dalam benak saya.


Writers Camp yang dihelat oleh Perlima pada 25-27 Oktober 2024 tidaklah demikian. Aktivitas yang diikuti oleh anggota dengan rentang usia 40 sampai 70-an tidak diadakan di tenda; melainkan di sebuah vila. Tentu, pertimbangan utama adalah kenyamanan para peserta. 

Tiga Hari Penuh Menikmati Hidup


Pelatihan tentang penulisan esai, mengulik alur penerbitan sebuah buku, hingga membahas puisi, memang berlangsung dengan menarik. Hingga rasanya waktu yang disediakan tak pernah cukup. Suasana terasa cair dan membahagiakan pada setiap sesi, membuat Writers Camp Perlima tak sekadar rangkaian pelatihan. Tak melulu mengikuti sesi pelatihan yang diberikan oleh para narasumber membuat acara itu semakin menarik.

Buat ibu rumah tangga seperti saya, kegiatan itu merupakan sarana belajar sekaligus me time. Berlepas diri sejenak dari aktivitas dapur–sumur–kasur yang itu-itu saja. Segala ekspresi tercurahkan dengan bebas dan lepas. Tak ada tawa tertahan atau tingkah laku malu-malu karena jaga image di depan suami dan anak seperti yang biasa saya lakukan di rumah. Saya menjadi seorang Titie yang sebenarnya. Begitu pun teman-teman lainnya. Mau menyanyi bersahutan, tertawa ngakak, rebutan kamar mandi, bercanda suka-suka hati, semua lepas tanpa beban. 

Panitia pun bukan tim yang kaku. Mereka sejak awal mengondisikan acara dengan luwes. Diawali dengan perayaan ulang tahun Ari dengan makanan lezat yang sengaja disiapkan oleh sang birthday girl, dilanjut dengan permainan yang membuat peserta heboh dan semakin akrab. Kemudian, setelah semua kenyang, ruang tengah yang merupakan tempat belajar, makan, dan bersantai berubah jadi ruang karaoke. Tak ada sekat antara peserta dan panitia. Semua menyatu, lebur, dan mencair dalam tawa canda yang renyah—kriuk-kriuk seperti rempeyek kacang.  

Piknik sambil Berpuisi

Di hari terakhir, peserta diajak piknik ala Writers Camp ke Pantai Goa Cemara dan Hutan Pinus Mangunan. Piknik saat itu bukan sekadar piknik biasa. Peserta harus membaca puisi di alam terbuka diiringi orkestra deburan ombak yang memecah bibir pantai. Lagi-lagi, ekspresi para perempuan penulis terasa lepas tanpa beban. Tak merasa malu meskipun harus beraksi di hadapan pengunjung pantai yang lain. 

Meskipun agenda membaca puisi di panggung terbuka Hutan Pinus Mangunan gagal karena kalah cepat dengan rombongan lain yang menggunakan tempat itu, kegembiraan kami tak menyusut. Apalagi panitia menemukan tempat lain di Kedai Nata Damar yang tak kalah estetik untuk membaca puisi. Maka, kekecewaan atas "sabotase" panggung Hutan Pinus itu menjadi tuntas tanpa dendam. 


Pesta yang Tak Pernah Usai

Tiga hari penuh kesan selama Writers Camp, penuh kenangan tak berkesudahan. Hingga lewat sebulan, ratusan foto masih bertebaran di sosial media para peserta dengan takarir yang unik dan menarik. Sungguh, ini bukan kamping biasa. 

Walaupun di hari terakhir lambung saya berulah karena suhu panas di mobil yang AC-nya gagal dinyalakan, kebahagiaan tak berkurang sedikit pun. Writers Camp tak hanya menutrisi benak dengan ilmu, melainkan juga mengisi kembali energi jiwa. Hati yang riang gembira membuat hormon oksitosin dan endorfin merajai dan menyehatkan tubuh. Terbukti, saya masih sanggup naik ke Punthuk Setumbu dan puncak Gereja Ayam di Bukit Rhema bersama para extenders.

Tak ada pesta yang tak usai. Acara itu boleh berlalu. Namun, cendera mata yang keren sepanjang Writers Camp dan segala kisah yang telah tercipta akan tetap menciptakan jejak dalam ruang kenangan yang akan selalu bisa diceritakan lagi, dan lagi. ~


Editor: Windy Effendy

Foto: Dokumentasi Panitia Writers Camp









No comments