Ditulis oleh Windy Effendy
Hidup bergulir dengan cepat. Tanpa terasa, usia lima puluh sudah di depan mata. Sebuah pertanyaan muncul di benak. Setelah ini, mau ke mana?
Di sinilah saya sekarang. Tiba-tiba sudah tiga tahun bersenang-senang dengan satu komunitas penulis yang juga berlari tanpa henti. Perempuan Penulis Padma, atau Perlima, mengajarkan saya banyak hal—dalam waktu singkat. Termasuk menggiring ke satu titik penuh kenangan: Writers Camp.
Program ini sudah didengungkan sejak awal berdirinya Perlima. Namun, masalahnya selalu satu: tidak ada yang sempat fokus mengurus dari awal hingga pelaksanaannya. Terpinggirkan oleh program lain yang lebih diprioritaskan-selama nyaris tiga tahun-, akhirnya Writers Camp pertama Perlima berhasil dilaksanakan di pengujung Oktober 2024.
Menyongsong Saatnya Tiba
Mau tak mau, posisi di kepengurusan Perlima sebagai koordinator divisi desain menyeret saya menjadi tukang desain ubarampe Writers Camp. Dengan senang hati, saya mengerjakannya. Terasa ada dorongan untuk memberikan tampilan yang cetar dan patut dikenang dalam keseluruhan pelaksanaan “kamping menulis” ini.
Kegembiraan itu terbangun sejak dalam grup kepanitiaan yang dibentuk. Kami, bertujuh, secara signifikan dan solid bertekad untuk memberikan yang terbaik. Tiba-tiba saja, rasa “jauh” itu menghilang. Yang ada hanyalah satu keinginan yang sama demi menjumpai sahabat-sahabat yang selama ini hanya ditemui lewat layar semata. Cepat, cepat, cepatlah tiba.
Di saat yang sama, saya ingin memperlambat waktu. Jangan, jangan segera tiba.
Perpisahan setelahnyalah yang membuat saya takut untuk terburu-buru menemui Writers Camp.
Tentu saja, saya tak punya kuasa untuk menghentikan waktu. Demi menghalau gelisah, saya pun bersenang-senang mengerjakan aneka desain yang diperlukan untuk acara itu. Rekan-rekan panitia yang lain—Fifin Maidarina, sang ketua panitia; Endang P. Uban, ibu akomodasi; Ari Pandan Wangi, tukang atur acara; Titie Surya, moderator pelatihan; Achakawa, kakak urusan perfotoan; dan Shenawangtri, ibu negara urusan uang dan administrasi—pun sigap melontarkan aneka ide dan buah pikir demi mewujudkan satu tujuan yang sama: memberikan yang terbaik untuk teman-teman peserta yang sudah membayar untuk acara itu.
Satu demi satu urusan beres. Segala printilan sudah mulai terkumpul. Berbagai rencana permainan dan setumpuk kejutan untuk peserta pun sudah tersusun rapi. Ah, semakin berdebar rasa hati!
Tiga Hari Penuh Rasa
Hari yang dinantikan pun tiba. Kami berangkat ke Yogyakarta. Dari berbagai penjuru: Jakarta, Tangerang, Bandung, Surabaya, Sidoarjo, Bawean; para anggota Perlima mulai berdatangan. Satu demi satu, teman yang selama ini hanya dijumpai lewat acara daring pun bisa dipeluk.
Jumat malam kami lalui dengan permainan; juga perayaan ulang tahun Ari Pandan Wangi yang sudah lewat beberapa hari sebelumnya. Permainan yang tidak jauh dengan urusan kata-kata dan literasi, menghasilkan gelak tawa yang meriah, sekaligus beberapa peribahasa ajaib. Malam itu, kami merasa sudah lama mengenal satu sama lain.
Keesokan harinya diawali dengan sunrise yoga. Pukul sembilan, kami mulai menerima pelatihan esai dari Iqbal Aji Daryono, berlanjut dengan paparan perihal penerbitan dari PT Kanisius, lalu menuju Jiwa Jawi untuk duduk berdiskusi tentang sastra sambil ngopi-ngopi cantik. Padat, tepat, dan ketat. Sibuk sekali otak kami berpikir, sembari mulut terus mengunyah. Prinsip dasar selalu sama: foto, makan, foto, makan—plus satu tugas untuk selalu menyimak pembicara. Malam itu ditutup dengan inaugurasi peserta: penyerahan medali dan sertifikat.
Sayangnya, kami cuma punya waktu tiga hari. Setelah agenda Sabtu yang padat, kami pun pergi piknik di Minggu yang terik. Bukan piknik biasa, tetapi harus sambil membaca puisi di salah satu tempat pilihan: di pantai Goa Cemara atau Hutan Pinus Mangunan. Setelah makan siang, kami pun harus berpisah. Berpelukan kembali. Janji untuk bertemu lagi.
Tumbuh tanpa Meluruh
Begitulah, saya bersenang-senang dengan sahabat-sahabat yang sebagian besar baru dijumpai kala itu. Ketika berangkat, saya sudah bertekad akan menikmati semua yang terjadi tanpa mengeluh. Menerima sebagaimanapun adanya sahabat-sahabat itu. Baik dan buruknya. Ketika 24 perempuan dikumpulkan di satu tempat bersama-sama, selama lebih dari dua hari, bisa dipastikan banyak hal akan terjadi.
Namun, saya banyak belajar dari tiga hari tersebut. Satu, saya menjadi tidak mudah menilai orang hanya dari tampilan luarnya saja. Dua, saya jauh lebih sabar dalam menghadapi segala hal. Tiga, baru kali ini saya sangat santai saat menjadi panitia acara.
Dalam usia menjelang lima puluh, saya harus menikmati setiap detik dengan bahagia. Tentu saja dengan tetap berdaya. Mengurangi standar kesempurnaan yang biasanya saya junjung tinggi, saya jadi lebih bisa menikmati waktu bersama teman-teman. Mungkin juga karena sudah maksimal di persiapan acara sehingga saat pelaksanaan sudah tinggal capeknya.
Saya merasa telah bertumbuh secara emosi dan batin—tanpa perlu meluruh; atau mengeluh. Semuanya nikmat, semuanya menyenangkan. Nyaris tidak ada waktu untuk bersedih hati, atau marah-marah, semuanya seru.
Tentu saja, segerombolan perempuan berkumpul bersama tanpa perlu memasak, memikirkan cucian dan setrikaan serta perihal kebersihan rumah, pastinya akan menghasilkan energi yang sangat kuat. Yang jelas, kami semua kembali ke rumah masing-masing dengan segunung kenangan, dan senyuman yang tak lepas-lepas.[WE]
Ed HEP
Foto: Dokumentasi Panitia Writers Camp
Cakep!
ReplyDeleteCakep!
ReplyDelete