Ditulis oleh RWilis
Perkara minum teh, saya akan selalu ingat kepada Ibu dan Mbah Putri dari pihak Bapak. Dua perempuan yang mempunyai kesamaan dalam hal minum teh, tapi sama-sama kerasnya memilih merek teh.
Pilihan merek teh Ibu saya tak pernah bergeser dari Teh Gopek. Merek itu saya kenal sejak kecil sampai akhir hayat Ibu saya pada usia 80 tahun. Kegemaran Ibu pada teh, agaknya menurun dari Mbah Putri saya yang sangat menyukai ngecong daun teh utuh yang beraroma kuat asap. Jika harus membeli teh kemasan, pilihan Mbah Putri jatuh pada merek Tong Tji.
Minum teh manis adalah ritual pagi dan sore dalam keluarga kami. Kami biasa menyeduh teh secara sederhana. Bubuk teh hitam dituangkan ke teko, lalu disiram air mendidih. Setelah didiamkan sejenak, teh dari teko dituang ke gelas-gelas belimbing sambil disaring. Gelas belimbing adalah gelas yang legendaris.
Setelah teh mengisi gelas-gelas belimbing, barulah gula ditambahkan. Teh manis panas yang kental, dengan wangi khasnya yang menguar itu seperti panggilan sakral bagi kami untuk berkumpul di meja makan, nyeruput teh. Nikmatnya.
Lain lagi bila berkunjung ke rumah Mbah Putri di desa, di kaki Gunung Slamet. Di desa yang dingin dengan dapur berdinding gedek itu kami duduk di lincak bambu dan minum teh yang panas sekali. Senyum simbah, cerita-cerita Mbah Kakung, dan wangi teh daun membuat kami lupa mengeluhkan kemiskinan kami. Asal ada teh, kadang ditemani cimplung singkong dengan lelehan gula jawa cair, kami sudah bahagia. Itulah surga kami dalam memori masa kecil paling indah.
Selera Teh Warisan Ibu
Setelah dewasa, aktivitas saya di hadapan rak-rak berisikan teh di toko swalayan sangat dipengaruhi oleh Ibu. Di antara deretan teh berbagai merek, akhirnya yang saya pilih adalah yang sama dengan pilihan Ibu. Hanya cara menyajikannya saja yang sedikit naik kelas.
Saya minum teh memakai cangkir. Meski bukan Royal Doulton, cangkir teh saya bisa membuat saya merasa sedang menikmati teh ala bangsawan Inggris. Mewah.
Sejak lama saya menyukai Teh Solo yang sekarang viral sekali. Namun, dulu saya hanya berani mencampur dua merek teh saja. Ternyata, Teh Solo yang nikmat itu hasil blending dari 6-9 merek sekaligus. Saya pun mulai meniru. Saya memasukkan 6-9 bungkus teh ke dalam toples kaca, mengocoknya sampai semua membaur dan bersahabat satu sama lain.
Kendati kini bahannya lebih beragam dan langkah pra-penyajiannya berbeda, cara saya menyajikan teh masih tetap sama.
Melawat negara manca membuat saya mengenal gaya minum teh yang berbeda-beda. Di China, saya mencicipi teh berbagai bentuk dan rasa, mulai dari yang harganya normal sampai yang mahal. Ada salah satu jenis teh di China yang harga per kilogramnya bisa untuk membeli city car. Kalau yang itu, saya hanya menyimak saja, sambil membayangkan. Paling rasanya ya hampir sama, seperti teh juga kan?
Kesempatan melanglang buana membuat ranah teh saya bertambah. Dari yang awalnya hanya kenal teh hitam, saya jadi bisa mencicipi teh hijau, teh oolong, dan Chinese Tea yang disajikan dalam cucing-cucing (cangkir kecil) yang imut menggemaskan.
Saya juga pernah dijamu teh ala Jepang dalam tradisi khas di Negeri Sakura itu. Sama seperti di China, teh di Jepang pun banyak ragamnya. Sayangnya, yang bisa saya ingat hanya dua, yakni matcha dan sencha. Dua jenis itu saya kenal dalam bentuk bubuk.
Kendati sudah berkenalan dengan beragam teh dari berbagai wilayah, bagi saya yang namanya teh ya harus yang kasar dan berdaun. Ini fundametal selera yang dipatenkan Ibu saya rupanya.
Saya tetap bisa jatuh cinta pada teh di pasar yang meskipun murah dan kualitasnya kurang bagus, tapi penampilannya cocok dengan kriteria saya. Yakni, kasar dan berdaun. Paduan daun teh dan gagangnya ketika diseduh air panas itulah yang membuat saya terbuai dalam kenikmatannya. Aromanya yang khas menambah mantap rasa sepat atau sedikit getir yang kadang membersamai teh dalam cangkir saja.
Jadi, jujur saja saya kurang suka teh ala Jepang dan ritualnya yang sangat shopisticated. Ya untungnya saya masih oke dengan ocha panas atau dingin bila kebetulan sedang bersantap di resto Jepang.
Seiring perkembangan zaman, dunia teh pun berubah. Generasi milenial atau Gen Z mungkin tidak mengenal teh sebagaimana tradisi nenek moyang karena anak-anak zaman now itu terpapar beragam teh kekinian. Ada begitu banyak kafe maupun kedai dan gerai teh saat ini.
Anak-anak muda pun cukup berani mengekspolrasi rasa teh. Apalagi, ada banyak gaya penyajian yang dikenalkan. Perangkat untuk menyajikan teh pun begitu beragam dan mudah dijumpai di pasaran, khususnya lokapasar.
Mengikuti dinamika teh dari zaman ke zaman, saya kemudian mengenal teknik tea blending. Itu merupakan teknik untuk mencampur daun teh dengan aneka herbal, bunga, dan buah yang dikeringkan. Selain daun teh hitam yang menjadi ciri khas Indonesia, peraciknya bisa menambahkan daun pandan, bunga melati, bunga telang, daun mint, cengkih, dan pelengkap lainnya ke dalam tehnya.
Seorang peracik teh atau artisan tea menjadikan teh layaknya perjalanan yang mengesankan. Jika dulu teh identik dengan secangkir minuman panas yang legi alias manis dan kental (nasgitel), kini tidak lagi. Generasi sekarang akrab dengan tea blend yang benar-benar berbeda. Seperti apa pun racikannya dan gaya penyajiannya, teh akan terus hidup dalam berbagai era. Nah, para pembaca suka yang mana? Nasgitel atau Teh Kekinian? (*)
Makasiiih ulasannya... teh glitter bikin penasaran. Sekarang di sepanjang jalan banyan penjaja es teh murah. Harga dari 2rb - 5rb segelas besar. Teh berupa bubuk yg diseduh air panas kmd ditambahkan batu es, dihargai 3rb.
ReplyDeleteSaya malah terkesan dengan teh di angkringan solo. Campuran berbagai merk. Pak Jenggot nyapu gerdu, itu merk tehnya, komposisi rahasi penjualnya.
Semangat pagi, Kak.. selamat menikmati secangkir teh dan aktivitas hari ini.. ❤