Ditulis oleh Endang P. Uban
Jika dulu saya tak menyadari bahwa ada yang berubah dari kebiasaan teman kuliah berkumpul, kali ini bahkan dengan sadar saya ikut memikirkan apa yang nyaman untuk semua.
Saat saya masih menjadi mahasiswa, kesempatan menginap bersama teman-teman kuliah satu angkatan yang paling terekam dalam ingatan adalah ketika acara sarasehan jurusan. Acara yang diadakan oleh tiap jurusan di fakultas satu tahun sekali untuk menyambut mahasiswa baru, yang diselenggarakan oleh kakak kelas dua angkatan sebelumnya sebagai panitia.
Artinya, secara bergiliran saya dan teman-teman satu angkatan pun berkesempatan menjadi penyelenggara untuk menyambut adik kelas dua angkatan di bawah kami. Setidaknya, ada dua kali acara kami akan menginap bersama-sama di satu vila, saat sebagai mahasiswa baru dan ketika menjadi panitia penyelenggara.
Pada sarasehan itu, panitia tiap jurusan akan menyewa masing-masing sebuah vila di Puncak, Jawa Barat, untuk menginap selama tiga hari. Di jurusan saya, Ilmu Komunikasi FISIP UI, panitia hanya akan membagi kamar secara garis besar saja. Kamar untuk panitia dan untuk mahasiswa baru. Lalu masing-masing kelompok itu dibagi dua lagi, kamar laki-laki dan perempuan.
Berapa pun jumlah orang di tiap kelompok itu, ya sudah kruntelan menjadi satu. Tak ada pertimbangan nyaman atau tidak untuk beristirahat karena pastinya waktu tidur pun amat minim. Sekadar bisa untuk berganti pakaian dan mandi, lalu merebahkan badan sebentar saja sambil menanti teman yang lain selesai mandi. Kami pun tidur berdesakan di malam hari.
Yang istimewa dari situasi itu adalah tak pernah ada keluhan dari masing-masing orang. Padahal, kami datang dari latar belakang keluarga dengan ekonomi yang tentunya berbeda-beda. Semua orang menerima dengan gembira, tertawa, dan hanya sibuk dengan diskusi untuk menyelesaikan secara kompak tugas-tugas yang diberikan oleh panitia. Begitu pula dengan makanan yang disediakan, terasa semua tetap enak dan memadai, tak sibuk bicara mana menu yang disuka dan tidak.
Berbeda lagi ketika akhirnya kami semua sudah lulus dari perguruan tinggi. Masing-masing sudah bekerja dan berumah tangga, lalu muncul keinginan berkumpul satu hari untuk reuni. Tidak ada rencana menginap, hanya bertemu di satu tempat untuk makan-makan dan saling berbagi canda tawa lagi. Dalam reuni itu terdengarlah satu celetukan bercanda tentang bagaimana proses mencari tempat reuni.
“Tempatnya yang enak, dong, masa udah punya duit sendiri masih ketemu di tempat yang murah dan tidak nyaman? Ogah, lah.”
Semua tertawa, termasuk saya. Meski agak menyetujui sebagian celetukan itu, sesungguhnya saya tidak benar-benar menyadari sebelumnya bahwa telah terjadi pergeseran kebutuhan pada diri jika tak dicetuskan oleh teman tadi. Yang semula hanya butuh berkumpul, akhirnya butuh berkumpul di tempat ber-AC, bersih, duduk nyaman, makanan pun enak. Kondisi berbeda, tuntutan berbeda pula.
Menjadi Panitia di Masa Tua
Minggu lalu, dua dasawarsa sejak reuni pertama dengan teman-teman kuliah, saya berkesempatan melakukan pertemuan dengan teman-teman komunitas Perlima di Yogyakarta, dalam acara yang dinamakan Writers Camp. Komunitas ini adalah kelompok teman yang baru saya kenal di usia setengah abad. Mengenalnya pun secara daring, hingga bisa dikatakan ini adalah kesempatan pertama berjumpa secara fisik.
Rentang usia anggota komunitas ini beragam, tetapi yang pasti semua telah berstatus ibu rumah tangga, bahkan sebagian telah berstatus nenek. Kebetulan, saya berkesempatan menjadi bagian dari penyelenggara. Apa yang terjadi?
Jika dulu saya tak menyadari bahwa ada yang berubah dari kebiasaan teman kuliah berkumpul, kali ini bahkan dengan sadar saya ikut memikirkan apa yang nyaman untuk semua. Dengan berbagai tingkatan usia dan status ekonomi, tuntutannya pasti lebih tinggi lagi dibandingkan masa awal bekerja dan berumah tangga.
Mulai dari saat mencari vila, kami sungguh mencari tempat yang memiliki jumlah kamar yang cukup dengan kasur yang nyaman untuk istirahat beberapa hari. Kami memperhitungkan ketersediaan fasilitas dapur bersih untuk memudahkan membuat minuman panas pagi dan sore jika dibutuhkan, hingga lemari pendingin untuk menyimpan makanan agar lebih awet. Selain itu fasilitas hiburan untuk dinikmati beramai-ramai seperti televisi pintar lengkap dengan saluran film Netflix dan karaoke, pun wajib menjadi pertimbangan.
Persoalan Pelik Akomodasi
Mendapatkan vila dua lantai, seketika kami memikirkan: siapa saja di antara para peserta yang tidak mungkin diajak naik turun tangga demi mobilitas antara kamar dan ruang TV tempat berkumpul di lantai satu. Mereka ini biasanya adalah teman dengan usia jauh lebih senior di atas saya, dengan kemampuan kaki yang tak sekuat lainnya.
Demikian pula untuk pembagian kamar, dengan saksama dipertimbangkan karakter tiap orang, yang mungkin tidak semua mudah untuk berbaur dengan teman lain yang berbeda karakter. Atau bahkan ada orang-orang tertentu dengan kepribadian yang lebih luwes, ditempatkan masing-masing satu untuk menjadi jembatan dengan teman lain sekamar.
Persoalan penyediaan makanan adalah PR lain yang tak kalah rumit untuk diselesaikan. Seiring pertambahan usia, tentu banyak teman mulai mengurangi bahkan berpantang pada jenis makanan tertentu. Ada juga kesadaran untuk tidak semakin menambah berat tubuh dan rata-rata mulai bicara tentang mengurangi jumlah asupan makanan.
Tentu ini menjadi pertimbangan bagaimana harus menyediakan makanan yang dapat memenuhi semua kebutuhan itu—sekaligus bisa diterima dan disukai oleh lebih banyak orang secara umum. Gagal dalam mengakomodir kebutuhan asupan, sudah pasti keluhan akan bermunculan, dan kebahagiaan semua orang akan hilang.
Sebaliknya, ketika semua merasa senang dan bahagia karena semua kebutuhannya tercukupi, pembicaraan tentang acara kumpul dan menginap bersama ini akan bertahan beberapa lama. Terlebih lagi ini adalah ibu-ibu yang jarang mendapatkan kesempatan menginap sendiri, tanpa keluarga. Semua orang perlu dibuat merasa bahwa inilah salah satu kesempatan untuk memiliki waktu bagi diri sendiri, dan ingin bahagianya semaksimal mungkin.
Tetap Menjadi Kenangan
Jadi, ketika pembicaraan tentang acara ini seperti tak habis-habis meski sudah berlalu seminggu lebih, dan ditanyakan apakah tidak pernah mengalami acara serupa di masa muda, semua paham jawabannya. Ketika muda, hampir tak ada halangan untuk bepergian bersama teman, dan apa pun situasinya akan dijalani tanpa mempertimbangkan nyaman atau tidak.
Kini, sesudah beberapa belas atau puluh tahun menjalani hidup lebih baik sebagai buah kerja keras mencari nafkah, tak ada lagi keinginan mengulangi masa sulit itu. Masing-masing memiliki keinginan untuk sebentar saja merasa bebas dari tanggung jawab harian, dengan lebih memanjakan diri sepenuh-penuhnya. Ketika semua rasa itu tercukupi, tentu saja seolah jadi susah untuk move on. Kenangannya bahkan akan bertahan sepanjang masa. ~
Editor-Titie Surya
No comments