Ditulis oleh Eva Sundari
Saat hendak makan siang di Warung Sate Kambing di Terminal Tawangmangu, mataku membaca banner “Pusat Oleh-Oleh Khas Tawangmangu” di seberang jalan. Sambil menunggu pesanan siap, aku menyeberang. Aku melihat-lihat displai di rak Pusat Oleh-Oleh Khas Tawangmangu itu. Kebetulan, aku memang berencana membeli oleh-oleh. Salah satunya adalah getuk goreng yang spanduknya banyak menghiasi jalanan di Tawangmangu.
Sayangnya, kios dengan banner “Pusat Oleh-Oleh Khas Tawangwangu” itu tidak menjual getuk goreng yang dalam Bahasa Jawa tertulis sebagai gethuk goreng. Penjual menawarkan keripik singkong yang bentuknya seperti rengginang. Ada juga teh-teh herbal dari moringa, seledri, dan rempah-rempah. Aku membeli masing-masing sebungkus.
Lalu mataku tertumbuk ke freezer, tempat makanan beku. Aku buka dan langsung aku tertarik waktu penjualnya menawarkan timus. Wow, timus kini telah jadi produk makanan beku.
“Ini timus rasa durian, Bu. Yang ungu isi beligo.”
Sorenya, aku nitip timus beku tersebut ke teman yang hendak makan malam di warung. Aku memintanya nebeng menggorengkan timus di warung atau restoran tempatnya makan. Ternyata, pihak rumah makan menyanggupinya!
Saat pulang, timus beku yang sudah digoreng dan siap santap tersaji dalam dua kotak mika. Yang satu kotak kuberikan kepada teman yang kutitipi untuk menggorengkan, satu kotak lagi untukku. Begitu kugigit, ada sensasi rasa yang nikmat dari timus empuk yang duriannya lumer menyatu di tengah itu. Ampun deh! Persis kata-kata yang tertera pada bungkusnya: lumer di mulut.
Sambil mengunyah, aku amati bentuk fisik timus yang kugigit tadi. Kulitnya kuning keeemasan, dengan aksen warna kuning muda pada bagian tengahnya. Rasanya lembut, nyuss. Dari sekotak timus durian itu, aku kebagian 3 potong saja karena harus berbagi dengan teman sekamar. Kurang banget sih... Makanya saat potongan terakhir masuk mulut, aku panik karena menginginkan lebih banyak lagi. Ah, seperti orang sakau deh.
Aku segera menghampiri temanku yang kubagi sekotak timus goreng di awal. Sayang, punya dia pun habis karena dimakan berdua dengan teman sekamarnya.
“Habis enak banget Mbak, jadinya langsung kita habisin.”
Teman sekamarnya pun menggangguk malu.
Lah! Seharusnya akulah yang malu. Konon, bisa timbilen (bintitan) kalau meminta lagi makanan yang sudah diberikan. Terlalu kan?
Besoknya, aku langsung ke toko yang sama untuk membeli dua bungkus sekaligus. Bahkan, aku juga membayar lunas empat bungkus lainnya yang aku titipkan dulu di toko tersebut lantaran takut kehabisan. Pada pembelian kali ini, aku memilih yang rasa durian dan beligo warna ungu.
Setelah itu, aku dan temanku langsung meluncur ke warung tempat kami menebeng digorengkan timus sebelumnya. Kami nebeng menggorengkan timus dua kemasan sekaligus. Sambil menunggu timus selesai digoreng, kami memesan singkong goreng, molen, dan getuk goreng sebagai “balasan” karena pemilik warung bersedia menggorengkan timus. Nah, akhirnya aku ketemu makanan yang jadi andalan Tawangmangu.
Selesai digoreng, timus ungu rasa beligo langsung kucomot. Wow, rasanya seenak yang durian. Bahan utama pembuatnya adalah ubi ungu dengan isian beligo atau kundur (Benincasa hispida) yang diiris kecil-kecil. Beligo yang juga dikenal sebagai waluh putih itu punya banyak khasiat kesehatan, termasuk untuk pencernaan. Beligo yang kaya akan serat itu juga mengandung vitamin C, riboflavin, dan zinc.
Wisata kuliner di lereng Gunung Lawu waktu itu kian menguatkan keyakinanku soal kedaulatan pangan. Keadaan itu sangat mungkin terwujud asal benar-benar memanfaatkan bahan pangan lokal dengan prinsip keberkelanjutan. Makanan lokal harus mengisi program makanan sehat bergizi yang gratis di sekolah-sekolah kelak. (*)
No comments