![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Mata
itu, sepasang mata paling indah di dunia. Hitamnya kelam, dan putihnya secerah
berlian. Mata itu tak pernah bersinar keras. Selalu memancarkan tatapan sayu
yang penuh harapan. Dari sepasang matanya aku tahu, ada cinta mengalir di
sepasang kelopak itu. Hidupku terasa baik-baik saja jika di pagi hari kudapati
mata itu menyapaku dilengkapi senyum mesra.
“Selamat
pagi, Bob, kamu sudah bangun?”
Dipeluknya
leherku, dan kepalaku segera dikecup oleh bibirnya. Nikmat mana lagi yang kau
dustakan, wahai makhluk di muka bumi? Sepagi itu kau telah menerima ciuman dan
pelukan dari seorang perempuan cantik yang buru-buru memberimu sarapan,
mengajakmu berlari ke pantai untuk menikmati deburan ombak hingga tiba waktu
minum susu di pukul sepuluh. Tak ada alasan untuk tak setia. Perempuan sebaik
itu, yang tak pernah berkata-kata dalam nada tinggi, yang memelukmu saat ia
baru tiba dari bepergian, yang mengajakmu menikmati siaran TV bersama, yang
mendampingimu saat kantuk tiba, yang mengajakmu bercengkerama saat senja jatuh
di halaman rumah.
Ia
tak pernah membandingkanku dengan siapa pun. Tak pernah. Bahkan dengan lelaki
sebelah rumah yang tinggi besar dan konon keturunan Jerman itu, ia hanya
menyapa basa-basi seperlunya. Aku tahu, Hauser jelas lebih gagah dan tampan
dariku. Aku hanyalah lelaki lokal yang
dipungut dari pasar, saat aku masih remaja. Perempuan cantik itu pun masih
berusia belasan.
“Hai,
apa kabar?” Ia mendatangiku di suatu Minggu pagi yang muram oleh musim tak
menentu, saat mendung menggelayut sejak malam sebelumnya.
“Kamu
sendirian?” Ia mendekat sambil melebarkan senyum.
Aku
mengangguk dan mendengus. Kurasa ia tahu bahwa aku sendirian, masih juga ia
basa-basi menanyakan. Ia datang bersama ibunya yang sedang berbelanja sayur
mayur. Kulihat gadis itu telah tertarik padaku sejak ia memasuki gerbang pasar.
Sengaja dilepaskannya tangan sang ibu, matanya tertuju kepadaku, lalu
langkahnya perlahan merapat kepadaku.
“Noni,
ayo kita pulang.” Sang ibu menarik tangan gadis itu setelah kami berbincang,
tetapi dia tampak enggan meninggalkanku.
Seketika
hatiku merasa sepi. Di antara ribuan manusia yang lalu lalang sejak kemarin,
hanya dia yang menyapaku dan mengajakku berbincang. Aku memang anak ingusan
yang tidak menarik, anak kampung yang tersesat dan masuk pasar untuk makanan
gratis. Kurasa tak seorang pun ingin mendekatiku. Namun, Noni—perempuan muda
jelita itu—menjadi setitik embun yang menyegarkan pagiku.
Matahari
lurus menimpa bayang-bayangku, saat sebuah suara membangunkanku dari lamunan.
“Maukah
kamu ikut ke rumahku? Aku sudah meminta izin kepada ibuku.” Gadis itu, oh,
Tuhan. Tak perlu memikirkannya lagi walau barang sedetik. Tentu. Aku mengangguk
dan mengekor di belakangnya seperti kena gendam.
Rumahnya
adalah sebuah bangunan bercat putih gading dengan oksigen melimpah dari tanaman
yang berjejer mesra. Halaman rumputnya sangat terawat, membuat hatiku begitu
kacau, ingin berguling-guling di atasnya. Ia memberikanku segelas susu dingin
yang sungguh, membuatku ingin menangis. Bukan hanya itu, ia membuatkanku sosis
bakar! Tuhan, apakah dia ini manusia? Ataukah dia malaikat yang menyamar? Dia
tahu aku kelaparan, tetapi ia tak bertanya aku datang dari mana, aku anak
siapa, dan seterusnya. Ketulusannya tak memberikan syarat apa pun. Suatu saat,
aku akan memberinya lebih dari apa yang dia tahu.
Sejak
hari itu, kami tumbuh bersama di rumah yang kunamai Eden, bersama Ibu yang sangat lembut dan mencintai
kami seperti saudara kandung. Mereka tak punya lelaki, maka akulah lelaki
satu-satunya bagi mereka. Kami bertiga, adalah sebuah keluarga kecil yang
selalu bermandikan cahaya bulan di malam hari, dan terhangati matahari di siang
hari.
Namun,
suatu hari ibu menangis tersedu-sedu setelah menerima telepon dari seseorang.
Ibu pergi begitu saja dengan taksi, tanpa bicara apa pun kepadaku. Aku hanya
menatap bingung pada taksi yang melesat itu dengan pikiran kusut. Hingga malam
tiba, tak ada kabar ataupun kehadiran Ibu dan Noni. Di gerbang rumah yang
menggelap, aku menunggu seperti pengelana yang kehilangan arah. Kemudian kantuk
menyerangku hingga cahaya matahari yang terik menyengat tubuhku.
“Bob,
kemarilah. Kau sarapan saja bersama Hauser. Ibu dan Noni sepertinya tak akan
pulang hari ini,” kata tetangga sebelah yang baik hati dan sepertinya tahu
situasi yang kuhadapi.
Terpaksa,
aku menerima ajakan mereka untuk sarapan bersama. Kemudian aku kembali duduk di
gerbang, menunggu kabar mengalir entah dari siapa. Namun, malam kembali tiba,
belum juga ada berita. Dan malam pun jatuh dalam cerita yang sama.
Aku
merindukan mata hitam yang indah itu, pelukannya, suaranya yang lembut dan
sepasang kakinya yang mengejarku di pantai. Aku rindu semua hal tentang dia.
Sementara matahari terus bergulir, entah yang ke berapa kali, tiba-tiba Hauser
berteriak memanggilku. Aku berlari ke sebelah. Ibu muda yang baik dan selalu
mengajakku sarapan itu menangis. Ia memelukku. Ia membisikkan sesuatu.
Seketika
aku melesat ke jalan, mencari aroma tubuh Noni di jalanan, berupaya menemukan
keberadaannya. Berputar-putar antara pasar, alun-alun, pantai, toko buku,
pantai, dan kantor pos. Itulah rute-rute
yang selalu dihampirinya bersamaku. Hasilnya nihil.
Kususuri
trotoar dingin dan halaman kantor pos yang mulai remang-remang tanpa penunggu.
Hingga malam menjadi gulita, tetap kususuri jalanan antara pasar- kantor
pos–toko buku–alun-alun, dan pantai. Terus berulang.
Di
tengah pekatnya malam di depan kantor pos, tak jauh dari toko buku yang
menghadap alun-alun, aku duduk dan mengurai kembali kata-kata tetangga sebelah
tadi pagi: “Noni telah tiada, Bob. Dia kecelakaan tempo hari, dan nyawanya tak
tertolong.”
Kulengkingkan
aum sekuat mungkin, berharap Noni mendengar suaraku.
Bayu dingin lalu
Dan bintang mengedip sayu
Rembulan menyuram
Tiada terbayang harapan. []
~Wina Bojonegoro
Terinspirasi dari lagu Sendiri oleh Chrisye (gubahan Guruh
Soekarnoputra)
#nulisbarengperlima
#songfictionperlima #fiksiminiperlima
#sendiri
#chrisye #tandacintauntuknoni #guruhsoekarnoputra #winabojonegoro
Editor: Windy Effendy
Cik Gu. As usual saya kalo baca ceritanya mending siang-siang hehe. Selamat Kak. Baca sambil belajar gratis ini hehe.
ReplyDelete