![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Bapak, aku
ingin merindukanmu dengan sempurna, walaupun rindu itu berasal dari luka. Namun, tidak bisa. Batinku justru
makin terluka.
Hari itu guru wali kelasku menitip pesan buat Emak. Uang sekolahku yang terlambat beberapa bulan harus segera dibayar. Emak
pasti benar-benar tidak punya uang. Aku ingat betul, Emak selalu berkata kalau kami terlambat bayar bulan ini,
bulan depan tanggungan akan semakin berat.
Terbayang wajah perempuan sederhana itu di
pelupuk mataku. Ia yang lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk bekerja demi membiayai hidupku dan kakak lelakiku. Tidak banyak
kata yang keluar dari mulutnya selain doa-doanya dalam sepi malam yang menyusup
lewat dinding bambu kamarku. Kadang aku juga mendengar tangisnya, lirih. Namun,
setiap kutatap wajahnya, yang kutemui adalah senyum.
Diam-diam, aku meminjam sepeda onthel milik teman sekelas sepulang
sekolah. Di bawah terik matahari siang, dengan perut kosong, aku menempuh perjalanan empat jam pulang pergi untuk sampai di rumahmu. Bahkan air minum
pun aku tidak punya. Aku hanya berpikir, aku harus bertemu denganmu. Kita harus
bicara tentang ini. Aku tidak peduli kalau harus disebut lancang karena
membicarakan persoalan yang seharusnya menjadi ranah orang tua.
“Bapak tidak punya uang,” katamu ringan saat
kusampaikan maksud kedatanganku.
Aku kecewa luar biasa. Bagaimana bisa kau berkata
begitu sementara di kandang belakang rumah ada banyak sapi yang kau pelihara.
Rasanya aku ingin menangis, bahkan berteriak sekencang mungkin. Inikah bapakku?
Tahukah engkau, Pak, saat itu hatiku membadai. Aku gusar, mengapa harus ada aturan menghormati orang tua yang telah
menelantarkan anaknya begitu saja. Aku tidak pernah meminta menjadi anakmu!
Kalau saja bisa, aku ingin saat itu lesap ke dalam perut bumi atau terbang
terbawa angin. Tanpa harus merasa disia-siakan.
Istrimu, mantan tandak yang cantik luar biasa itu
memandangku sinis. Dengan caranya memperlakukanku selama ini, aku percaya dia merasa menang karena aku gagal meminta uang
darimu.
Ketika aku mengira tidak ada lagi yang bisa
kulakukan selain pulang, aku melihat radio transistor baru di bufet ruang tamu.
Tanpa berpikir panjang aku mengambilnya. Aku meninggalkan rumahmu dengan air mata yang terus membasahi
pipiku dalam perjalanan kembali ke rumah.
Radio itu kucantolkan begitu saja di setang sepeda.
Bunyi tak-tok tak-tok setiap kali
radio itu berbenturan dengan badan sepeda tidak kuhiraukan lagi. Bahkan kalau
itu membuat radio penyok, aku
tidak peduli.
Aku tidak pernah terlambat pulang sekolah, tetapi
hari itu aku tiba di rumah menjelang magrib. Di halaman depan rumah, Emak menungguku. Rautnya jelas
gelisah. Matanya menelisik wajahku yang mungkin menyiratkan hati muramku. Namun, sejurus kemudian matanya melihat radio yang
kubawa.
“Radio siapa itu?”
“Bapak,” jawabku singkat sambil melewatinya. Setelah sepeda kuparkirkan di tempatnya, aku masuk ke kamar. Biasanya aku selalu mencium tangan Emak
dengan takzim, setiap akan pergi dan setelah
sampai di rumah. Namun, kali ini ritual itu kuabaikan.
“Untuk apa kau ambil radio Bapakmu?” Emak
membuntutiku.
“Kujual. Buat
bayar SPP. Tadi sudah ditagih.”
“Kembalikan!”
Kali ini, suara
Emak menggelegar tegas. Berat. Aku tahu Emak menahan tangis. Matanya memerah
penuh genangan air yang berdesakan ingin tumpah.
“Bapak juga punya tanggung jawab membiayai
sekolahku, Mak!” Begitu saja, air mataku meluap mendahului tangisan Emak.
“Waktu Bapak menceraikan Emak, tidak sepeser pun
harta gono-gini yang dibagi buat Emak. Semua Bapak kuasai untuk berfoya-foya
dengan tandak itu.” Emak seolah membela dirinya.
Sepertinya Emak tidak peduli dengan protesku. Kuberanikan membalas
tatapannya. Mengapa kau menyulitkan
hidupmu sendiri dengan menerima semua perlakuan Bapak, Mak?
“Besok Emak jamin akan bayar sekolahmu.
Percayalah.”
Ucapan Emak menggodam hatiku hingga berkeping. Tidak pernah sedikit pun aku punya keberanian
mengecewakan hati perempuan yang telah mengabaikan hidupnya sendiri demi
anak-anaknya.
Esoknya, guru wali kelas kembali menemuiku ketika
jam sekolah usai. Memberikan secarik kuitansi
bukti pelunasan uang iuran sekolah. Sekali lagi aku meminjam sepeda onthel dan mengulang perjalanan empat jam penuh untuk mengembalikan radiomu.
Sejak hari itu, Pak, rasaku padamu telah mati.
Engkau hanya lelaki yang menyebabkan aku terlahir ke dunia. Penghormatanku
padamu sekadar formalitas
agar tidak ada norma susila atau norma agama yang kulanggar.
Pernahkah kau sadari, Pak, sering kali aku merasa
iri dengan anak-anak lain. Mereka diantar ke sekolah oleh
bapaknya. Mereka, bergelayut manja di lengan
bapaknya. Rambut mereka dielus mesra oleh bapaknya. Aku juga ingin berteriak kegirangan ketika kau belikan
gula-gula kesukaanku. Atau, kalau semua itu
tidak bisa, aku ingin kau peluk, Pak. Itu saja. Sekali saja.
Pak, hati tetaplah daging yang sulit dikendalikan.
Baru kusadari bahwa kebencian tidak bisa menghapus kenyataan bahwa aku adalah
anakmu, darahku tidak bisa dipisahkan dari darahmu. Meskipun aku harus mengubur
keinginan itu. Hingga akhirnya engkau menutup usia, keinginanku masih
menjadi ruang kosong tanpa penghuni. Segaring inikah dirimu buatku,
Pak? []
~Achakawa
Terinspirasi oleh lagu berjudul Ayah oleh Rinto Harahap
#nulisbarengperlima #songfictionperlima #fiksiminiperlima #ayah #radiobapak
Editor: Windy Effendy
No comments