Umat Difabel Hadir untuk Menyempurnakan

Ditulis oleh Indria Pramuhapsari

Dokumentasi Keuskupan Surabaya


Lantunan mazmur Lenny Angkirawan pada misa Kamis (1/5) pagi menggema ke seluruh ruangan. Sebelumnya, Singopranoto “membacakan” Injil dengan isyarat tangannya. Hari itu, misa istimewa bertajuk Umat Difabel dalam Sukacita Jubileum dihelat di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus (HKY) Surabaya.


Teriakan, lengkingan, dan jeritan sesekali terdengar saat misa berlangsung. Beberapa kali, satu atau dua umat meninggalkan bangku. Mereka berjingkat, melompat, berjalan pelan, bahkan berlari ke luar. Namun, selingan itu tidak mengganggu kekhidmatan misa yang dipimpin Uskup Surabaya Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo pada Kamis pagi itu. 

“Hari ini sungguh membahagiakan. Meski tidak bisa melihat dengan mata, Leni bisa bermazmur dengan sangat indah. Singo juga membacakan Injil dengan bagus kendati tidak mampu mendengar dengan telinga. Kehadiran umat difabel menyempurnakan kita, menyempurnakan Gereja Katolik,” papar Monsinyur Didik, sapaan akrab uskup, dalam homilinya. 

Selaras dengan semangat Tahun Jubileum 2025, Pilgrims of Hope alias Peziarah Pengharapan, HKY yang juga dikenal sebagai Katedral Surabaya, menebarkan benih harapan pula ke umat difabel.  

Sebagai penggagas Pastoral Difabel di Keuskupan Surabaya pada 2019, Monsinyur Didik mengatakan bahwa sebelumnya Gereja Katolik kurang merangkul umat difabel. Keistimewaan mereka terlalu lama diabaikan, demikian pula pemeliharaan iman mereka. Dia sendiri mengaku baru mendapatkan pencerahan setelah diminta menjadi pendamping komunitas difabel pada 1998. 

“Saat itulah aku merasa bahwa aku ini ternyata juga tidak sempurna karena tidak bisa berkomunikasi dengan Teman Tuli. Jadi, kita ini sama-sama difabel, sama-sama tidak sempurna. Maka, kita harus saling menyempurnakan,” paparnya di hadapan sekitar 300 umat.  

Menjadi Lebih Peka

Sepanjang misa, Monsinyur Didik memilih untuk menyebut dirinya dengan kata “aku”, bukan “saya”. Dia sengaja melakukannya karena kata “aku” lebih akrab bagi umat difabel, terlebih Teman Tuli, ketimbang kata “saya”. Tiap kali menyebut kata “aku” pun, dia menyentuh dadanya seperti bahasa isyarat “aku”. 

Selain Monsinyur Didik, Romo RD Gabriel Gallileo yang akrab disapa Romo Leo, juga menunjukkan kepeduliaannya kepada umat difabel. Saat mendaraskan Doa Syukur Agung yang menjadi bagian dari Liturgi Ekaristi, dia menggerak-gerakkan tangannya sesuai bahasa isyarat Bisindo. Ekspresi dan isyarat tangan Romo Leo membuat Teman Tuli yang hadir dalam misa terbantu dalam memaknai ekaristi.

Di depan altar, tepatnya di depan foto Paus Fransiskus yang dibingkai, seorang juru bahasa isyarat juga menerjemahkan misa untuk Teman Tuli. Saat pujian dan mazmur, dia juga memandu Teman Tuli ikut “menyanyi” dengan isyarat tangan. 

Usai misa, Monsinyur Didik menceritakan kesannya menjadi selebran utama (pemimpin) Misa Jubileum Difabel tersebut. “Setelah mengenal lebih dekat mereka yang difabel, saya tergerak untuk menjadi lebih peka. Saya mengubah cara bicara saya. Saya memperhatikan pelafalan tiap kata dan benar-benar menggerakkan mulut serta bibir saya agar Teman Tuli bisa membaca gerak bibir saya,” ungkapnya di hadapan awak media. 

Dia juga menyinggung nuansa misa hari itu yang berbeda karena ada suara-suara yang mungkin tidak dijumpai saat penyelenggaraan misa biasa. “Kan tadi bisa dilihat sendiri ya. Saat misa tadi kan ada yang jalan-jalan, ada yang berteriak. Ini yang perlu disosialisasikan kepada umat secara keseluruhan, agar lambat laun nanti mereka juga terbiasa dengan kondisi ini sehingga misa menjadi inklusif,” urainya lebih lanjut.

Gereja Katolik Berproses Menjadi Inklusif 

Dalam jumpa pers sebelum misa, Romo Leo menyatakan bahwa Misa Jubileum Difabel yang digelar pada 1 Mei itu merupakan jawaban atas kerinduan terhadap misa yang inklusif. Itu merupakan misa perdana yang dihelat Pastoral Difabel pada 2025. Sebelumnya, Pastoral Difabel juga pernah menyelenggarakan misa difabel.  

“Perlu kita garis bawahi bahwa umat difabel bukanlah objek. Mereka adalah subjek pelayanan gereja dan berhak atas pendampingan dalam pengembangan imannya,” tegas pastor yang berperan sebagai ketua Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya tersebut. 

Katekis Pastoral Difabel, Melani Safirista, mengatakan bahwa jumlah umat difabel di kawasan Surabaya Raya (meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Krian, dan Mojokerto) mencapai sekitar 450 hingga 500. 

“Selain Teman Tuli, ada pula disabilitas lainnya, termasuk intellectual disability. Untuk semuanya itu, pastoral memberikan pendampingan. Kami berjejaring dan mendampingi langsung dengan paroki-paroki di wilayah Keuskupan Surabaya,” terangnya.  

Pelayanan untuk umat difabel tentu membutuhkan sarana dan prasarana khusus. “Untuk fasilitas itu kami berproses, ya. Seperti juru bahasa isyarat, akses kursi roda, panduan liturgi braille. Harapannya, nanti di paroki-paroki yang ada umat difabelnya akan tersedia semua yang dibutuhkan,” lanjut Efisien Dhaki, moderator jumpa pers Kamis pagi itu.

Sebelum menutup jumpa pers, Melani menekankan kembali upaya-upaya yang Pastoral Difabel Keuskupan Surabaya lakukan untuk mempersiapkan seluruh umat menuju Gereja Katolik yang inklusif. “Kami juga melakukan seminar-seminar dan kegiatan bersama, sebab penting juga mempersiapkan umat untuk berdampingan dengan umat difabel,” ungkapnya. 

Sebagaimana Monsinyur Didik yang merasa baru bisa “melihat” dan “mendengar” kebutuhan umatnya setelah berinteraksi langsung dengan umat difabel, Romo Leo serta Melani dan Efis juga berharap perubahan yang sama terjadi pada seluruh umat di Keuskupan Surabaya. Dengan demikian, pesan mendiang Paus Fransiskus tentang inklusivitas bisa terwujud. Yakni, mampu melihat dengan telinga dan mampu mendengar dengan mata. (*)


Edited by WE

No comments