Teluk Doreri


ilustrasi dibuat oleh AI

           

Air laut sekitar Teluk Doreri beriak kecil, biru berkilau berhias kilat-kilat putih tempaan mentari pagi. Debur ombak berkecipak riang menyapa karang-karang tepi pantai. Di atas batu paling tinggi, Matias berdiri, menghadap ke hamparan laut.

Pandangan ia lemparkan jauh, sejauh-jauhnya, seperti memastikan ada sesuatu yang lebih dahsyat menanti dikuak nun di ujung sana. Mata lebar Matias kian membundar, hatinya tambah berdebar. Dirinya merasa sangat siap menjawab ajakan alam membelah samudra. Ia siap menyingkap dunia lain lebih megah yang ia yakini ada.

Mambre, saya pamit,” bisiknya lirih, tetapi tegas.

 

Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema beki pase

 

Kakek, aku mau
Pergi ke negeri seberang Teluk Doreri
Pegang sapu tangan dan lambaikan tangan


           
Meski kakeknya telah berumur, badannya masih tegap, kulitnya tembaga, rambutnya merah dengan beberapa helai warna perak. Kakek menatap cucunya dengan sorot mata penuh kasih. “Pergilah, Matias. Dunia di luar sana menunggumu. Ingatlah, di mana pun kamu berada, hati dan doa kami selalu bersamamu.” 

***

 

Arafa Bye aswara war

Arafa Bye aswara war

Kasihan aku, selamat jalan cucuku

Kasihan aku, selamat jalan cucuku

Manasseh seperti tengah memutar kembali adegan puluhan tahun silam, saat Semuelama Matiasberpamitan. Niatnya sama, ingin membelah samudra, menguak dunia. Tak guna mencegahnya, lebih baik direstui saja. Memang begitulah seharusnya anak-anak Biak. Mereka lahir sudah dengan genetik merantau, memanjangkan langkah ke tempat-tempat nun jauh di sana.

***

Matias tersenyum, menerima perkenan dan doa kakek tercinta. Meski hatinya berat meninggalkan kampung halaman, akan tetapi dorongan untuk menjelajahi dunia luar lebih kuat dari kegamangannya. Selama ini, kisah-kisah tentang dunia di balik cakrawala mengusik tenteramnya, menyulut galaunya. Betapa ingin ia melihat lebih dari sekadar teluk, dan hutan-hutan bakau serta nyiur yang sudah begitu diakrabinya.

Dengan perahu kayu kecil peninggalan ayahnya, Matias mulai mendayung menjauh dari Teluk Doreri, tanah kelahirannya. Perahu kecil itu diberinya nama Yama, artinya penjaga dan pemberani. Bersama Yama, Matias merasa melaut bersama Ama yang sudah tiada sejak dua tahun silam. Ama tidak pernah kembali sejak berangkat melaut suatu malam. Sejak itu, Matias tinggal dengan Ina, di rumah Mambre dan Mou Nenek.

Ombak tenang, angin berhembus pelan, langit terang, awan putih berarak meneduhi Matias di hari pertama petualangannya. Laut yang luas seakan membentangkan jalan untuknya, memberi ruang bagi mimpinya yang besar. Sambil mendayung, pikiran Matias dijejali bayangan dan harapan akan megahnya kehidupan baru. Di kepalanya ada seperti sebuah kota besar dengan gedung-gedung tinggi, oto-oto bagus yang sibuk melaju di jalanan beton lurus dan mulus, serta kerlipan lampu sepanjang jalan raya yang tak pernah padam meski telah larut malam.

Hari berganti hari, laut tetap setia mengiringi pelayaran Matias. Namun, semakin jauh ia pergi, semakin asing pemandangan di sekelilingnya. Pulau-pulau kecil yang biasanya menghiasi cakrawala mulai menghilang, yang ada hanya hamparan air tak berujung. Raga Matias mulai penat, keraguan mulai menyelinap. Namun, seketika ia tepis semangatnya yang mulai menyurut. Ia harus bertahan, berpegangan pada janji yang dibuatnya sendiri: tidak kembali sebelum menemukan dunia baru dambaannya.

Pagi itu, ketika Matias membuka mata, pandangannya kelabu. Ternyata, kabut tebal tengah menyelimuti lautan. Terdamparlah perahu Matias di sebuah pantai asing. Terpaksa ia turun menuruti perintah alam untuk sejenak berlabuh. Telapaknya menjejak daratan. Pasir yang lembut dan empuk membenamkan kakinya hampir ke betis. Setelah perahu ia tambatkan di salah satu pohon nira terdekat, Matias duduk memeluk lutut memandang daratan yang tengah digulung halimun.

Hembusan angin perlahan membongkar pekatnya kabut. Saat awan kelabu terkoyak dan menghilang, Matias terperanjat. Pelayarannya berhari-hari tidak mengantarkannya ke dunia baru yang selama ini ia cari. Pemandangan di hadapannya sangat tidak asing baginya. Rumah-rumah kayu dengan atap jerami, jalan setapak yang sempit, deretan tampah berisi ikan-ikan kecil dipanggang di bawah terik matahari. Ia terus melangkah masuk semakin dalam ke desa yang terasa begitu akrab dan menyatu dengannya. Hingga akhirnya, di ujung jalan, ia melihat rumah kayu tua dengan beranda kecil dan tumpukan buah kelapa sawit di pekarangan depannya.

Seorang pria tua dari kejauhan sudah melemparkan senyum lebar dengan tatapan mata hangat. Itu Mambre Manasseh, kakeknya, berdiri di depan rumah mereka di Teluk Doreri.

Matias terpaku di tempatnya menegakkan kaki.  Bagaimana bisa? Aku sudah berlayar jauh berhari-hari, gumamnya dalam hati.

Kakeknya mendekat, menepuk dengan lembut pundak cucu kesayangannya. “Kadang, kita jauh-jauh mencari hidup yang hebat, padahal yang kita cari sebenarnya sudah kita dapat.”

Perjalanan panjang telah membawa Matias pulang. Ia telah pergi mencari, alam yang mengantarkannya kembali ke kehidupan hebat yang hakiki. []

 

Mambre= kakek 

Mou Nenek= nenek

Ama= bapak

Ina= ibu 


~Jani P. Jasfin

Terinspirasi dari lagu berjudul Apuse oleh Folksong Suku Biak, Manokwari, Papua.

 

 

#nulisbarengperlima #songfictionperlima #fiksiminiperlima #apuse #telukdoreri

 

Editor: Ari Pandan Wangi

 

 

2 comments

  1. Terima kasih Kak Jani. Saya baru tau ada Teluk namanya Doreri dan akhirnya googling ada di mana .... oh Manokwari hehe. Cerita yang menggugah bagi kaum perantau. Sleamat Kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kak Febri, terima kasih banyak sudah membaca. Saya tadinya mengira Doreri itu kosa kata biasa, eh ternyata nama teluk. Kalau dicermati lirik lagu Apuse itu sedih, itu lagu perpisahan, tetapi irama lagunya ritmis, seperti sedang semangat dan gembira. Folksong kita kaya makna memang ya Kak :D

      Delete