![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Tidak ada lagi yang lebih membosankan di dunia selain menunggu datangnya kepastian. Menunggu atau menyerah; kali ini tidak ada pilihan bagiku setelah bis yang mestinya membawaku kembali ke Jakarta, bergerak lebih cepat dari yang kuperkirakan. Akibat hal sepele—berdebat dengan seorang bapak dengan sepatu kembar seperti milikku di musala terminal—aku harus rela ketinggalan bis. Tidak mutu, menggemaskan; dan sebenarnya tidak lucu, tetapi berhasil membuatku menjadi mahluk paling tolol. Aku memilih menunggu bis berikutnya yang akan masuk sekitar 2 jam lagi.
Sekian lama aku menunggu
Untuk kedatanganmu
Bukankah engkau telah berjanji
Kita jumpa di sini
Suara mendayu dari elekton minus one seperti mewakili rasa gundahku. Merasa menjadi orang paling bodoh karena ketinggalan bus dan terpaksa memilih menanti seperti menunggu hujan di musim kemarau. Panas hati terdampar di terminal yang riuh, dengan pengumuman kedatangan dan keberangkatan armada silih berganti, tetapi mengapa bus tujuanku tak kunjung disebut. Rasa tolol membuatku terpaku. Namun, sebenarnya suara mendayu itulah yang menarikku untuk rela menunggu, melupakan perdebatan soal sepatu.
Seorang perempuan muda yang melantunkannya memakai setelan kaos panjang dan celana jeans dongker lusuh, ditambah kerudung hitam—sebuah perpaduan warna yang gagal sebenarnya. Untung si adek wajahnya manis, hidungnya tinggi, sorot matanya tenang. Dan cengkoknya itu, lho, seperti penyanyi berpengalaman. Nasib saja atau memang dia harus memulai dari penyanyi jalanan atau pengamen. Ada seorang pemuda tangguh—dari wajahnya dan baju yang menempel di tubuh ceking itu sepertinya dia anak sekolah menengah atas—memainkan elekton butut, mengiringi suara mendayu. Sebuah kotak kardus bekas minuman tergeletak dua meter dari si gadis. Pasangan muda yang mengadu nasib dengan menjual suara; tepatnya berharap ada yang sudi mencemplungkan receh dalam kotak. Satu dua orang berlalu sambil melempar seribu atau lima ribu, meski yang paling banyak melempar pecahan koin rupiah. Si gadis mengangguk dan memaksakan senyumnya. “Terima kasih, Om.”
Aku duduk di kursi kayu depot yang menyediakan aneka minuman dan nasi bungkus. Deretan depot serupa memanjang di koridor tempat lalu lalang penumpang.
“Anggap saja lagi di kafe dangdut, ngopi sambil lihat penyanyinya” gurau Eda, teman satu kosku di Bandung yang paling rajin menanyakan kabarku.
Meski penampilan si gadis penyanyi boleh dikata kurang menarik, ada saja mata-mata nakal berseliweran sambil menggoda. Si gadis bergeming, rupanya telah terbiasa dengan situasi apa pun. Seorang laki-laki berhenti di depan depot aku duduk. Rambutnya keriting, badannya gempal dan perutnya buncit. Lelaki yang tanpa malu mengedipkan mata ke arah si gadis, sambil memainkan bibirnya maju mundur; mecucu. Lalu lima puluh ribu melayang dari saku celana jeans belelnya.
Gadis muda itu sudah harus menanggung hidup penuh rayuan seperti itu. Pasti bukan pilihannya. Dia menggadaikan masa muda di terminal pasti bukan tanpa alasan.
“Ibunya penyanyi dangdut keliling, sering manggung di hajatan kampung.” Tiba-tiba ibu pemilik warung nimbrung. Mungkin karena hanya ada aku saja pembeli di depotnya. “Kasihan, tapi suaranya bagus, persis ibunya.”
“Ibunya ke mana?” tanyaku.
“Bapaknya minggat, ibunya jadi penyanyi dangdut untuk menghidupi 4 anaknya,” lanjut ibu warung.
Pertanyaanku yang tak terucap menemukan jawaban. Keberadaan si gadis dan mengamen di terminal sudah menjadi jawaban. Menyanyi untuk mempertahankan hidup.
“Yang main piano itu adiknya, masih sekolah, mbakyunya baru lulus, anaknya pinter. Tapi ya siapa yang mau membiayai, bapaknya saja minggat, gitu. Laki-laki brengsek!” Si ibu tambah geram. Yang lucu di telingaku, si ibu menyebut piano. Ah, bebas, lah.
“Wis, waktunya istirahat!”
Suara lantang menghentikan bait lagu yang sedang dinyanyikan. Seorang laki-laki muda yang muncul entah dari mana menarik si gadis, yang buru-buru mematikan mikrofon, melangkah menuruti pemuda tanpa protes. Si pemain organ tunggal ikut berdiri cepat dan menyambar kardus.
Mataku mengikuti langkah mereka.
“Itu si mbarep, jualan siomai di belakang sono,” kata si ibu.
Aku membayar kopi dan pisang goreng. “Ambil saja sisanya, Bu.” Tiba-tiba, aku sangat penasaran dengan keluarga kecil itu.
“Lho, Mas, kenapa kok berhenti nyanyi adiknya?” Aku mendekati gerobak siomai. Si gadis dan si pemuda sudah duduk ndeprok di plengsengan pembatas taman dan jalan keluar masuk penumpang, masing-masing menyedot satu plastik berisi es teh.
“Akeh garangan, Mas!” kata si tukang siomai.
“Siomai satu,” kataku kemudian.
“Itu adikmu, Mas?” tanyaku ingin tahu.
Tanpa menoleh padaku, pemuda itu mengiyakan. “Ben tetep iso mangan, Mas!” katanya sambil mengulurkan sepiring siomai panas. Uang berwarna ungu ia terima.
Aku berdiri tak jauh dari gerobak siomai. Mengudap di antara aneka isi kepala dan raut muka yang berseliweran mengejar bus atau baru tiba. Datang seorang perempuan beraroma wangi mendekati tukang siomai, menyalami dan mencium tangan. Banyak pemandangan mengejutkanku.
“Iki adik-adikku. Dia kerja di laundry, yang ini ngamen di sini sejak dia lulus SMK. Si bontot yang main organ tunggal. Muga dadi penyanyi terkenal, yo, Dek!” Adik kakak itu cuma melirik ke kami, lalu mengobrol bertiga. Si bontot memainkan ponsel.
“Yo, ngene iki, wis gak duwe bapak ibu, podo nggolek mangan dewe.”
“Bagus suaranya.”
“Lumayan, adikku satu itu yang mewarisi suara Emak.”
“Ke mana ibumu?” tanyaku spontan sambil menghabiskan sisa siomai.
“Iki, Mas!” Ia mengambil koran lusuh dari laci gerobaknya. Sebuah koran yang terlipat dan sepertinya selalu dibawa ke mana-mana bagaikan benda berharga. Aku membaca—hingga kuulangi dua kali—tepat di bagian sebuah berita.
Bila aku kini menjadi sebatang kara setelah berturut-turut kematian Mama Arini, Pakne dan Bubu-ku, kondisiku bukan apa-apa dibanding mereka. Satu setengah tahun ini aku merasa menjadi orang paling sengsara di dunia. Ibu dan eyangku sudah tak ada. Aku hanya mengenal tetangga dan Bi Rimah. Ayahku tak tahu di mana. Sebuah alasan yang membuat aku berkelana satu bulan ini hingga terdampar di Pantura karena aku mendengar ayahku berasal dari kampung di kawasan Semarang.
Ternyata masih ada anak-anak yang hidupnya lebih mengenaskan. Hingga makan pun harus mencari sendiri. Bapaknya pergi meninggalkan mereka dalam kemiskinan tak berkesudahan. Ibu tak bisa diam saat melihat anaknya kelaparan, banting setir menjadi penyanyi panggilan, berkeliling di undangan hajatan kampung dan pentas di panggung pasar malam, menanggung risiko serta menelan semua cibiran, demi anak-anak dan seorang nenek yang sakit-sakitan.
Kini mereka harus melanjutkan hidup, mencari makan sendiri dengan berbagai cara. Mereka harus lakukan itu.
“Aku jualan sambil ngawasi adikku. Kasihan, banyak orang nakal di sini. Aku gak mau nasib ibuku menimpa adikku. Ibuku tidak ada yang menjaga. Bapakku minggat!”
Hidup sering tidak adil. Mengapa ada empat anak yang harus menanggung nasib sedemian rupa, ditinggal laki-laki yang mestinya menjadi bapak yang melindungi. Lalu ibu yang berjuang mati-matian melupakan semua hinaan, masih harus merelakan nyawanya.
"Yang Mati Dipagut Ular", demikian judul berita dari koran lusuh yang disodorkan si pemuda. Sebuah pelajaran dari menunggu, yang menamparku.
Kutisari, 11082024
~RWilis
Terinpirasi dari Menunggumu oleh Via Vallen
Editor: Windy Effendy
No comments