![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Saat petang hadir, ia memulai penantian. Ia mengabaikan rayuan angin yang meniup lembut, pun godaan daun yang menggerisik. Ia tak peduli ketika langit menjingga, meredup, lalu mengantar gelap. Ia tetap duduk tegak di teras, tak beranjak, meski ribuan senja sudah berlalu tanpa tanda-tanda.
Naz menunggu. Sudah lebih dari lima purnama dia begitu. Kalau ibunya mengajak masuk, selalu ditolak dengan halus. Dia lebih suka di beranda, agar bisa menjadi orang pertama yang menyambut Pras tiba.
Suatu sore, ibunya berkata, “Yang kau tunggu tidak akan datang.”
Ucapan itu ditampik keras. “Dia pasti kembali, begitu janjinya.” Semudah itu dia meyakinkan dirinya, meski di sisi lain hatinya sering sesak dengan kebimbangan yang tak pernah dia akui.
Mata Naz yang bundar berbulu mata lentik dan dipayungi alis yang nyaris menyatu itu selalu menerawang. Bibirnya senantiasa berhias senyum tipis. Pancaran wajahnya seperti orang kasmaran.
Jika ditanya apa kabar, dia selalu menjawab, “Aku baik-baik saja sebab cinta Mas Pras membalutiku.”
Ketika ditanya di mana Pras sekarang, dengan desah manja dia menjawab, “Pergi ke langit, memetikkanku bulan.”
Ketika dipojokkan oleh pertanyaan “Mana bisa orang memetik bulan, bulan bukan mangga.” Naz masih bisa membidas, “Kau tak tahu besarnya energi cinta, dia sanggup mengubah semua yang mustahil menjadi bisa.”
Dalam penantiannya, Naz tak lepas merawat tubuh agar semolek bidadari ketika Pras tiba. Rambut legam panjangnya setia diratus, kulit tubuhnya kerap dibalur lulur, wajahnya senantiasa dilembabkan dengan air mawar. Kuku kaki tangannya rapi dan bersih. Di kamar tidurnya, Naz menyemai wangi rajangan daun pandan dan bunga kenanga campur melati. Bau khas kamar pengantin Jawa. Ibunya dan semua orang di rumah perih hati menatap tingkah laku Naz.
Semua bermula di suatu pagi, saat akad nikah seharusnya dihelat. Naz sudah berdandan sejak dini, semua telah siap menanti kedatangan keluarga calon mempelai pria. Matahari mulai meninggi, tetapi yang dinanti tak juga tiba. Lalu, dengan tergopoh, perias membisikkan sesuatu. Sontak wajah Naz menegang mendengar berita yang baginya sungguh tak masuk akal. Alih-alih histeris, mata Naz seketika menerawang dengan bibir menyungging senyum. Raut wajah seperti itu yang bertahan hingga kini. “Tak mengapa Mas Pras pergi sebentar, nanti juga kembali.” Diucapkan itu dengan tenang, saat gemuruh raung tangis sanak kerabat membuncah.
Benar, Naz tidak menyerah menunggu. Ada suara dalam dirinya yang terus berbisik, memintanya tetap menanti. Cintanya yang dalam menembus rasa sakit dan kehilangan. Naz karam dalam timbunan rasa itu.
Hari demi hari, Naz menghabiskan waktunya dengan menulis berhelai-helai surat, mencurahkan isi hati lewat larik-larik kata. Surat-surat yang menjeritkan rindunya akan kehadiran Pras, mengiba agar dapat kembali mengenyam manisnya kebersamaan. Naz tahu, surat-surat itu tak akan pernah dibaca Pras. Namun, menuliskannya membuat hati Naz hangat, serasa didekap pria belahan jiwa.
Dunia terus bergerak, tetapi tak kuasa menyeret Naz keluar dari cangkangnya. Sering terjaga di malam senyap, merenung dan meragu apakah yang dia lakukan ini bermakna? Akankah penantiannya berujung? Namun, setiap kali bimbang menyeruak hatinya segera menepis. “Cinta tak akan pudar, aku akan menunggunya, sampai kapanpun.” Demikian azzam-nya.
Malam ini rapat keluarga memutuskan Naz akan dibawa ke rumah sakit jiwa. Kangmas sulung Naz berhasil meyakinkan hati ibunya bahwa Naz perlu pertolongan medis.
“Adikmu itu tidak gila, dia hanya patah hati. Orang gila tidak bisa merawat dirinya. Pasti kotor, bau, meracau, dan suka nyakari orang,” bersungut-sungut Ibu berkata. “Apa kata orang kalau tahu anakku dibawa ke rumah sakit jiwa,” tambahnya.
“Kita periksakan dulu saja, Bu, kalau memang benar semuanya baik-baik saja, ya alhamdulillah. Jika ada yang kurang benar dengan Naz, bisa langsung ditangani.”
***
“Aku mau kau ajak ke mana, Mas Kukuh?” Naz bertanya lembut.
“Kita jemput Pras di bandara, dia sudah datang, bawa bulan untukmu.”
“Bulannya apa ya cukup masuk bagasi? Lagian, Mas Pras tidak mungkin kembali, kan dia sudah mati.”
Kukuh sontak menoleh ke kiri, menatap wajah adik bungsunya yang molek tapi pucat. Ada cercah harapan di hatinya. Mungkin Ibu benar, adikku tidak apa-apa.
“Kalau kau tahu Pras sudah mati, mengapa masih saja kau nanti?” Suara Kukuh berat dan parau.
“Sebab dia sudah berjanji pasti akan kembali, membawaku berdansa di atas bianglala, lalu kami akan berpelukan selama-lamanya,” jawab Naz. Suaranya lirih dan tenang, disertai pijaran mata memendar semiliar harapan.
Dada Kukuh seketika sesak. Dia benci menelan kenyataan bahwa Naz benar-benar perlu pertolongan. (*)
~Jani P. Jasfin
Inspirasi lagu “Apalah Arti Menunggu” oleh Raisa
Editor: Ari Pandan Wangi
No comments