Ruang Nostalgia

 

ilustrasi dibuat oleh AI


 

Setelah hasil general medical check-up keluar, dokter di poli umum merujukku ke poli spesialis penyakit dalam. Mereka menemukan ada kristal di ginjalku. Alhasil, pagi ini aku sudah duduk tenang di ruang tunggu RSmasih lengangbelum terlalu banyak pasien datang. Sambil menanti dipanggil, kusapukan pandangan ke sekeliling. Pada papan aklirik di samping pintu masuk ruang periksa, berderet nama-nama dokter terpajang beserta waktu praktiknya. Di surat rujukan, tidak dituliskan siapa nama dokter yang akan memeriksaku. Aku hanya harus datang ke poli, bisa diperiksa oleh dokter mana pun, sesuai dengan jadwal praktiknya.

            Dari deretan nama-nama dokter itu, ada satu yang mencuri perhatianku. Pradipta Laksono, dengan deretan gelar yang susah aku baca, apalagi aku ingat. Nama itu menjadi demikian unik, khas djaman dahoeloe. Nama yang terdiri dari dua kata saja, versi Jawa, sangat klasik. Bernuansa priyayi feodalistik, menjadi standing among the crowd ketika disandingkan dengan nama-nama lain yang memiliki tiga suku kata, panjang-panjang, dan berbau kebarat-baratan.

            Ingatanku melayang ke masa SMP. Ada kakak kelas III, Ketua Palang Merah Remaja, namanya Pradipta Laksono. Masih jelas kuingat cara bicaranya yang tegas, bergerak dengan sigap, tidak banyak senyum, sungguh berkharisma. Badannya tinggi tegap, kulitnya langsat, matanya cenderung sipit, mirip mata wayang golek. Tatapannya tajam kala memandang, tetapi hangat penuh perhatian.

Sebagai anggota baru ekskul PMR, aku sengaja sering bertanya di sesi latihan setiap akhir pekan. Terutama jika yang memberi materi Kak Dipta. Bukan karena aku sungguh-sungguh ingin tahu, tetapi sekadar ingin ditatap dengan lekat dan didekati. Sebab aktif bertanya, Kak Dipta beberapa kali mencontohkan langsung teknik membalut yang benar di tanganku. Kalau ingat itu sekarang, aku geli sendiri, bagaimana mungkin gadis bau kencur yang baru lulus SD sudah bisa bersiasat agar bisa lebih dekat dengan kakak kelas yang rupawan.

            Ah itu, namaku baru saja disebut. Bergegas aku menuju ruang periksa. Aku diperiksa dr. Pradipta Laksono. Dr. Dipta sudah sangat senior, punggungnya sedikit melengkung, kulit tangannya sudah keriput, akan tetapi masih terlihat warna kulitnya yang terang langsat.  Rambutnya ikal, sudah menipis, tampak kulit kepalanya yang licin mengkilap. Kacamatanya melorot sampai di ujung hidung sehingga aku bisa melihat dengan jelas bentuk matanya yang sipit ala wayang golek. Ketika memeriksaku, tatapannya seketika membuatku bisu. Aku merasa tak asing dengan sorot itu.

            Pemeriksaan perdana tidak berlangsung lama. Dokter bermata wayang golek itu hanya bertanya dua tiga kali kepadaku, selebihnya banyak memberikan instruksi ke suster yang mendampingi pemeriksaan.

“Pekan depan, datang lagi bawa hasil USG, ya, Bu. Saya beri obat untuk mengatasi nyerinya.” Kalimat penutup yang diucapkannya mengakhiri sesi pemeriksaan.

Dalam perjalanan pulang, aku tak bisa berhenti menerka-nerka. Apakah dokter tadi itu adalah kakak kelasku dulu? Tinggi badan, warna kulit, bentuk mata, cara memandang, dan suaranya sungguh familiar—meski suaranya tadi lebih berat dan bervibrasi, mungkin faktor usia. Kalau benar dia kakak kelasku, betapa usia lanjut benar-benar bisa mengikis secara signifikan kerupawanan seseorang. Masih ada petilasan kebagusannya, tipis-tipis. Tak pernah terbayangkan, Ketua PMR yang segagah itu sekarang tampak sedemikian tua. Ah, belum terlalu tua sebenarnya. Aku saja masih 57 tahun. Dokter itu kira-kira dua-tiga tahun di atasku.

Refleks kuberkaca melalui kaca spion dalam mobil,  melihat setua apa diriku. Memang ada kerut halus di sekitar mataku, wajahku kian bundar dengan pipi agak longsor dan dagu bertumpuk. Rambutku tiga warna: uban, hitam, dan pirang—sebab sapuan cat meluntur), dengan baju ukuran 3XL. Di halalbihalal SMP kemarin, dalam gelak canda, teman-teman meledekku. Dulu mirip Jenny Rachman, sekarang bagikan Mak Wok.

Pada kedatangan pemeriksaan ketiga, aku tak sanggup menahan diri untuk tidak bertanya. Tatapan dokter itu sangat mengusikku. Kedatangan kedua kemarin, kami tidak banyak bercakap. Beliau hanya memeriksa hasil USG, menulis resep, dan memintaku datang hari ini.

“Dok, boleh tahu, dulu sekolah di SMP mana?” tanyaku. Sudah kedatangan ketiga, aku merasa lebih santai untuk bercakap-cakap. Sebelum menjawab, dokter itu menatapku. Ah, lagi-lagi tatapan itu! Membuatku tersenyum dan bertambah yakin kami pernah bertemu di masa lalu.

“Saya SMP 3, Jalan Praban. Gedungnya masih bangunan Belanda, sampai sekarang tidak boleh dibongkar, jadi cagar budaya.” Dokter ini menjawab panjang, lebih dari yang aku harapkan.

“Masih ingat tahun berapa, Dok, ketika SMP?” Kuingin memastikan, apakah beliau benar kakak kelasku.

“Mungkin lulus tahun 1982-an, tak bisa ingat persis.” Yes! Aku lulusan 1985.

“Saya dulu juga di SMP 3, ikut PMR,” pancingku memberikan informasi yang tak dokter tanyakan. Dengan melemparkan sekelumit cerita itu, aku mencoba mengajak Pak Dokter menerobos ruang nostalgia. Berharap ia bisa mengingatku sebagai adik kelas yang aktif, giat, rajin bertanya, dan sering dijadikan percontohan jika ada praktik balut-membalut.

Namun, tanpa kuduga, dokter itu meletakkan penanya, mengangkat kepalanya, dan menatapku dengan lekat. Terpancar sorot santun di matanya.

“Oh, ya? Saya dulu Ketua PMR, tapi lupa periode tahun berapa. Maafkan ingatan saya yang tidak tajam lagi, apakah Ibu yang waktu itu menjadi guru pembina kami?” tanyanya dengan nada rendah dan lembut, seolah sedang bercakap dengan ibu mertuanya.

Justru pertanyaan lanjutan dari sang dokter itu seperti ledakan granat bagiku. Apa dia bilang? Aku ini gurunya? Tampak setua itukah aku di matanya? Seketika aku malas melanjutkan percakapan. Bergegas aku tinggalkan ruangan setelah dokter itu menyerahkan resep.  Bulan depan aku pindah dokter saja, huh! []

 

~janipjasfin

Terinspirasi oleh lagu berjudul Forever Young oleh Alphaville

 

#nulisbarengperlima

#songfictionperlima 

#fiksiminiperlima

#Forever Young

#Ruang Nostalgia

 

Editor: Ari Pandan Wangi

 

No comments