Kesayangan

 

ilustrasi dibuat oleh AI


 

Rona jingga menghiasi langit di ufuk barat, menemani Ayana yang duduk sendirian di teras. Tak biasanya gadis itu mengenakan gaun. Dua jepit menghiasi rambut bergelombangnya yang tergerai. Jemarinya sibuk membuka tiap lembaran majalah bergambar kandang dan unggas. Sesekali, matanya memandang jalanan yang ramai dengan kendaraan yang lalu-lalang. Ayana meletakkan majalah di atas meja. Matanya perlahan memejam, hidungnya menghela udara sore dengan satu tarikan panjang. Ia menanti Kiran yang lama terpisah benua karena tugas belajar dari kantor.

 Ayana terkikik sendiri, teringat saat sedang duduk berdekatan dengan Kiran di teras itu beberapa waktu lalu. Tubuh Kiran selalu harum berkat sabun mandi wangi yang digunakan untuk mengaburkan bau khas ayam yang melekat di tubuhnya. Sahabatnya memang seorang manajer yang mengelola ribuan ternak ayam pedaging.

Serupa dirinya, Kiran pun menyukai unggas. Kiran tidak pernah bosan menceritakan ayam-ayamnya. Mulai dari ayam lucu berumur sehari, tanpa bulu, dan suka air gula, hingga ayam-ayam usia siap panen yang cantik menggemaskan, juga perihal pejantan yang gagah.

Ayana tertawa lirih. Ayam membuat dirinya dan Kiran tak terpisahkan. Mereka selalu berebut menceritakan ayam kesayangan masing-masing. Bedanya, Kiran sama sekali tak mau makan telur, apalagi makanan berwujud anggota tubuh ayam. Kasihan, katanya.

Terlintas masa kecilnya yang riuh dengan ayam-ayam kecil kesayangan. Kala itu Ayana masih kelas empat sekolah dasar. Bude dari Yogya datang membawakan sepasang anak ayam—dan sekeranjang ayam goreng kesukaannya. Ayah membuatkan kandang dan membelikan pakan campuran jagung dan dedak. Ayana memberikan makan pada kedua ayamnya setiap hari. Hingga suatu hari, ayam betinanya mulai bertelur.

Sejak ayamnya mulai bertelur, Ayana menyukai sarapan telur mata sapi. Namun, ia tetap membiarkan induk ayam mengerami beberapa telur hingga menetas. Muncul lima anak ayam yang sangat lucu. Sayangnya, tak lama kemudian anak ayamnya mati. Seminggu kemudian induk ayam mati, tiga hari kemudian si jago pun menyusul. Kata Ayah, saat itu musim pancaroba; banyak penyakit ayam. Ayana menyeka setitik air yang menetes di sudut matanya. Ia masih merasakan pedihnya kala menyaksikan ayam-ayam yang sakit itu dibakar, lalu dikubur di kebun belakang rumah.

Suatu hari, Ayah menjemput Ayana pulang sekolah dan mengajaknya mampir ke pasar. Di pasar ada banyak ayam warna warni, ada kuning, hijau, putih, dan merah. Ayana memilih ayam merah dan hijau. Suka cita memelihara si merah dan si hijau tak berlangsung lama. Si hijau mati pula.

Si merah tumbuh menjadi jago putih gagah berjengger merah besar. Awalnya si merah begitu lucu. Dia berlari ke sana kemari di halaman belakang rumah dengan bebasnya. Sesekali Ayana mengajaknya bermain di halaman depan rumah. Tanpa terasa usia si merah sudah tiga tahun. Dia makin kuat dan galak. Si merah senang mengejar orang atau binatang yang baru dilihatnya. Tak jarang, dia mematuk dengan paruhnya yang kuning besar dan runcing. Lama-kelamaan, tingkah si merah terasa mengganggu sehingga Ayana memutuskan memasukkannya ke kandang. Saat dalam kandang, si merah selalu berisik bila melihat orang yang baru dikenalnya.

Pernah suatu malam, si merah gaduh di kandangnya, suaranya ramai, meloncat-loncat, seakan sedang meronta seperti hendak keluar kandang. Betul saja, saat Ayana datang, si merah sudah di luar kandang dan berlari ke arah belakang kebun—mengejar bayangan hitam yang berteriak mengaduh-aduh seakan kesakitan. Si merah sibuk mematuk bayangan itu dengan paruhnya. Usut punya usut, ada seorang pencuri yang ingin mengambilnya malam itu. Untung saja, si pencuri lari tunggang-langgang karena kegalakan si merah.

Sampai suatu musim hujan, muncul wabah flu burung. Ayana menemukan si merah diam tak bergerak dalam kandang. Lagi-lagi, hati Ayana pedih. Ia harus menyaksikan si merah yang gagah harus dibakar dan dikubur di kebun belakang, bersebelahan dengan si hijau dan ayam-ayam lainnya yang pergi lebih dulu.

Ponsel Ayana berdenting, menyadarkannya dari petualangan masa lalu. Dihapusnya air mata yang membasahi pipinya selama melamun. Di layar, muncul pesan dari Kiran. Tanpa menunggu, Ayana beranjak sambil menjawab pesan sahabatnya. Ia menuju pintu pagar untuk menyambut Kiran yang akan turun dari bus.

Beberapa menit kemudian sebuah bus berhenti di seberang jalan. Setelah bus melaju, tampak seorang gadis manis nan tomboi sedang melambaikan tangannya. Ayana pun membalas lambaian tangan Kiran.

Tanpa diduga, sebuah motor muncul dengan kecepatan tinggi. Kiran yang sedang menyeberang tampak terkejut mendengar suara derum motor itu. Namun, sial tak terhindarkan. Motor itu oleng, menyerempet Kiran yang tak sempat lagi menjauh. Benturan keras antara motor dan aspal terdengar, plus suara ayam yang berkaok-kaok di tengah keributan itu. Ternyata, si pengendara berniat menghindari ayam yang juga sedang menyeberang.

Ayana menjerit histeris seketika. Air matanya bercucuran kembali saat melihat Kiran yang tersungkur di tepi jalan. Setengah berlari, Ayana mendekati Kiran. Ia melihat kaki kanan Kiran yang terluka, tetapi sahabatnya itu masih bergerak. Wajah Kiran menyeringai seolah menahan sakit.

“Kiran! Kiran! Astaga! Bagaimana ini?” Ayana panik melihat Kiran yang sepertinya nyaris pingsan. Ayana mendekatkan telinganya ke mulut Kiran yang bergerak-gerak mengatakan sesuatu.

“Aku gak akan mati karena ayam. Cepat panggil ambulans!” []

 

 

~ikasari

Terinspirasi dari lagu Pitik Tukung, lagu dolanan anak-anak dari Yogyakarta.

 

Editor: Windy Effendy

 

No comments