![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Gedung Balairung Kampus UI
Depok disesaki gemuruh para mahasiswa bertoga yang siap diwisuda. Dika duduk di
deretan kedua, tepat di tengah barisan. Posisi yang strategis. Ia dapat melihat dengan jelas satu per satu anggota
Senat Universitas Indonesia yang berdiri tegak bersama Rektor.
Namun, ada sesak di
dadanya. Ia memandang lurus pada satu titik— bukan pada wajah Rektor. Mata Dika
menembus tubuh lelaki bertoga itu, menembus tembok Gedung Balairung, dan
menembus pepohonan yang bersekutu dengan rintik hujan. Dika melayang, menembus
waktu yang bergelombang warna suram. Terbayang beberapa kilasan peristiwa penuh
tantangan yang telah dilaluinya—hingga sampai pada titik itu.
Pada suatu sore yang
lampau, Dika kecil gelisah menunggu pembeli korannya di simpang jalan Tugu
Pancoran. Tubuh mungilnya menggigil menahan dingin, kuyup tanpa jas hujan.
Matanya sendu menatap tumpukan koran sore yang belum banyak berkurang. Sejak
perempuan yang selama ini dipanggilnya Ibu sakit-sakitan, Dika harus berjuang
sendiri mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup dan sekolahnya. Ia tidak rela
kalau sekolahnya sampai terhenti dan harus mengubur dalam-dalam mimpinya
menjadi sarjana dari UI.
“Apa? Mau jadi sarjana UI?
Jangan mimpi kau, Dika! Penjual koran di jalanan kayak kita-kita ini mana bisa
kuliah di UI!” sanggah temannya tatkala ia sampaikan cita-citanya.
“Ya, cari beasiswa, dong.
Kalau kita pintar, mudah dapat beasiswa. Ya, kan, Pakdhe?” Dika minta dukungan
lelaki penjual gorengan dekat tempatnya berteduh.
Marto, lelaki yang
dipanggil “Pakdhe” membalas dengan anggukan kepala dan acungan jempol tanda
setuju. Tekad Dika meraih mimpi mendapat dukungan dari Rosa, pekerja sosial
yang mendampingi kegiatan anak jalanan di rumah singgah tempat Dika dan
teman-temannya belajar.
Belakangan, hujan datang
setiap hari dan memengaruhi pendapatannya menjual koran sore. Dika terpaksa
menjual koran sore sampai malam agar dapat menyisihkan uang untuk tabungan.
Jika pulang terlalu malam, ia tidak sempat menyelesaikan tugas dari sekolah. Baru
setengahnya, Dika sudah tertidur.
Jika pendapatannya hanya
cukup untuk makan keesokan harinya, malam itu ia rela tidur tanpa mengisi
perut. Yang penting, besok pagi bisa sarapan dan membeli obat murahan yang
dijual di warung-warung sekitar rumah buat ibunya sebelum berangkat sekolah.
Kondisi seperti itu terus berulang setiap hari.
“Aku harus kuat! Aku harus
bisa meraih mimpiku dan membahagiakan Ibu,” desis Dika seolah merapal mantra,
yang selalu ditanamnya dalam-dalam.
Atas saran Rosa, selepas SD
Dika mengambil Program Kejar Paket B setara SMP yang diselenggarakan Dinas
Pendidikan. Itu membuatnya masih bisa berjualan koran—bahkan lebih banyak,
tidak hanya koran sore. Penghasilannya bisa disisihkan lebih banyak lagi. Begitu pula selepas Kejar
Paket B, Dika melanjutkan Kejar Paket C setara SMA.
Dika menjadi lebih cerdas
dan berpengetahuan luas dibanding teman sebayanya. Waktu menunggu pembeli
dihabiskannya dengan melahap berita dan pengetahuan yang ada di koran. Setiap
ke rumah singgah, ia mendiskusikan hasil bacaannya dengan Rosa sehingga pemikirannya
semakin cemerlang. Di antara waktu berjualan, ia selalu menyempatkan datang ke
perpustakaan, meminjam buku untuk menunjang kuliahnya. Tidak heran, Dika
berhasil memperoleh beasiswa di UI hingga dapat menyelesaikan kuliahnya.
“Dika, giliranmu maju.”
Bisikan teman di sebelahnya menghentikan benak Dika yang berkelana jauh
menyusuri perjalanan masa lalu.
Dika melangkah mantap
menuju ke depan, menghadap Rektor dan deretan senat. Bergetar jemari tangannya
saat menerima uluran tangan ucapan selamat dan piagam penghargaan sebagai
mahasiswa berprestasi dengan IPK 3,90, nyaris sempurna. Sebelum melangkah turun,
ia berdiri sejenak melayangkan pandangannya kepada para pendamping wisudawan.
Di baris paling belakang,
duduk seorang perempuan berwajah pucat yang tampak belum sehat, tepat di
samping Rosa. Perempuan pucat itulah yang selalu dipanggilnya ibu. Perempuan
itu sangat menyayangi dan mengorbankan segalanya untuk membahagiakan dirinya. Meskipun
pada akhirnya, Dika harus berjuang sendiri karena fisik lemah sang ibu,
perempuan itulah yang selalu mendukung Dika meraih cita-citanya.
Dika menatap ibunya dengan
perasaan penuh. Bahagia karena apa yang telah dicapainya dan dapat
dipersembahkan kepada ibunya. Dika melihat sorot mata bangga yang dikirim
perempuan itu kepadanya. Dika tahu, perempuan itu selalu mendaraskan doa
untuknya. Perempuan berbibir pucat itu, satu-satunya yang Dika miliki saat ini.
Perempuan yang menemukannya di tepi jalan dekat perkampungan menuju kota.
Perempuan yang merawatnya dengan penuh cinta. Dika tak peduli lagi dengan orang
tua yang telah menyia-nyiakan dirinya. Baginya, hanya ada satu ibu: perempuan
tirus itu.
Dika bergegas turun
menghampiri ibunya. Dipeluknya erat tubuh ringkih perempuan itu. Kasih yang
diberikannya pada Dika telah melebihi kasih pada dirinya sendiri. Tiada lain,
hanya kepada ibunya, ia mempersembahkan pencapaian hari itu.
Lelah yang dilalui di rumah
perkampungan kumuh dalam gemerlap kota metropolitan, letih dan luka karena
perseteruan dengan waktu di jalanan, lenyap begitu saja. Dua sisi hidupnya yang
kini terasa bagai mimpi belaka, membuat bulir bening mengalir di pipi tirusnya.
Ia yakin, ijazah sarjana yang kini telah berada dalam genggamannya akan membawa
langkahnya ke kehidupan yang lebih baik, juga demi kebahagiaan ibunya.[]
~wsarianti
Terinspirasi oleh lagu Sore Tugu Pancoran oleh Iwan Fals.
Editor: Ihdina Sabili
No comments