Kopi untuk Kekasih

 

ilustrasi dibuat oleh AI

 

Aroma kopi menyeruak menyapa hidung mungil Narun ketika gadis itu melangkah masuk ke  sebuah coffee shop di Jalan Tunjungan, tempat ia dan Bagus biasa menghabiskan waktu sore selepas kerja. Dia menunjukkan pesan teks yang diterimanya dari Bagus pagi tadi: ‘Run aku pengen kopi. Doubleshot, ya’ kepada barista yang selalu menyambutnya ramah. Dengan lincah sang barista meracik pesanan Bagus. Sebaris kalimat penyemangat ditulisnya pada badan gelas kopi.

“Nanti es batunya ditambahkan di rumah saja, ya, Kak. Biar ndak cepet leleh.” Barista itu menyodorkan pesanan Narun. Perjalanan ke Sidoarjo, rumah Bagus, memang masih lumayan panjang akhir pekan begini. Barista itu sudah memang sudah seperti teman, tahu persis yang ia mau.

Selesai urusan memesan kopi, Narun menghampiri motornya yang di parkir di pinggir jalan. Sabtu sore begini, arus lalu lintas arah luar kota selalu padat. Pilihannya membawa motor sangat tepat karena ia bisa lebih mudah menyelinap di antara kendaraan yang memenuhi jalanan. Waktunya tidak akan banyak terbuang. Seminggu tidak bertemu Bagus cukup membuatnya banyak kehilangan endorfin. Namun, baru hari ini ia bisa mengunjungi Bagus. Sepertinya Bagus juga sudah merindukan Narun sampai bermodus menginginkan kopi langganan mereka. Dibayangkan wajah Bagus yang sumringah menyambutnya nanti. Sesekali Narun tersenyum sendiri di balik helm yang terlalu longgar. Sebentar lagi rindunya akan terobati. 

Tiba-tiba, Narun merasa ada benda besar yang mendorong motornya dengan kencang dari belakang. Sepersekian detik berikutnya, ia merasa tubuhnya melayang ke udara. Lalu, tubuhnya terasa remuk ketika berjumpa dengan semen keras  di tepi jalan. Sakit yang luar biasa menjalari tubuhnya hingga ke kepalanya. Narun bisa merasakan dentam di kepalanya, yang tak lagi terlindungi oleh helm yang lepas entah ke mana, yang membuat pandangannya memudar perlahan bersamaan dengan pendar-pendar kuning di sekitar.

Terdengar suara samar di sekitarnya. Kaki-kaki mendekat ke arahnya. Wajah-wajah penuh rasa ingin tahu mengerumuninya. Satu dua wajah beku itu menampakkan wajah penuh iba. Susah payah, Narun berusaha bangkit berdiri karena orang-orang itu tidak satu pun berusaha menolongnya. Ketika ia sudah berdiri kembali, ia melihat motornya ringsek di tengah jalan. Kopi buat Bagus tergeletak di dekat kaki salah seorang yang merubungnya. Untungnya kopi itu tidak tumpah.

Narun menyibak kerumunan. Secepatnya ia meraih kopi itu dan mendekapnya erat. Dia segera berlalu dari tempat itu. Meninggalkan orang-orang yang masih berkerumin di pinggir jalan. Dia ingin segera bertemu Bagus.

Narun merasakan tubuhnya begitu ringan. Seolah angin turut bersimpati dengan keinginannya untuk segera sampai di rumah sang kekasih. Alam selalu bersama orang yang penuh cinta, batin Narun. Bibirnya menyunggingkan senyum. Namun, sampai di depan  PASMAR 2 langkahnya terhenti. Ia melihat antrian kendaraan yang mengular di perempatan Gedangan, tak bergerak sama sekali. Sekarang ia baru memahami mengapa Bagus lebih suka datang lebih awal ke kantor dan menghabiskan waktu bersamanya sambil ngopi hingga selepas isya. Pasti ia menghindari kemacetan yang belum pernah ada obatnya ini. Seperti banyak kata orang di media sosial, perjalanan menuju tempat kerja dari rumah di Sidoarjo akan menghabiskan separuh umur di perempatan Gedangan. 

Kembali Narun menggerakkan kakinya. Dia menerobos semua kendaraan yang berjejer memenuhi badan jalan dengan mudah. Kemacetan itu tidak berarti apa-apa. Kakinya terus bergerak dan baru berhenti ketika tiba di rumah Bagus.

Keningnya bertaut. Ada dua mobil yang dikenalnya terparkir rapi di depan rumah Bagus. Sepertinya mobil milik teman-teman sekantornya. Di ruang tamu, mereka duduk berhadapan dengan kedua orang tua Bagus. Wajah mereka jelas tampak berduka. Mereka mengabaikan kedatangannya meskipun Narun sudah mengucapkan salam beberapa kali. Tanpa basa basi lagi, Narun menuju kamar Bagus yang berdampingan dengan ruang tamu. Di dalam kamar, masih ada beberapa lagi teman kantor mereka.

“Bagus.” Narun memanggil. “Mereka kok gak bilang kalau mau jenguk kamu. Tahu gitu aku bisa barengan mereka.”

Bagus tidak menanggapi ucapan Narun. Dia malah mengusap air mata yang menetes satu-satu di pipinya.

“Kamu gak usah ikut takziyah ke rumah Narun, biar kami yang mewakili kamu. Kalau sudah benar-benar pulih, baru kamu ke sana.”

Narun terhenyak mendengar kalimat itu. Panik,  Narun mengamati sekelilingnya. Semua masih sama seperti yang dikenalnya dulu. Hanya saja TIba-tiba, ia menyadari bahwa ketika teman-temannya keluar kamar, mereka melintasi tubuhnya begitu saja. Mereka menembusnya! Mereka tidak melihat keberadaannya! Jadi?

Tubuh Narun terkulai lemas di samping tempat tidur Bagus. Semua rasa bercampur aduk dalam hatinya. Ia ingin muncul kembali dan menampakkan diri di depan Bagus, tetapi tidak bisa. Tidak ada yang membantunya. Kematian tidak pernah memberi alarm yang jelas. Malaikat Izroil tidak pernah mengirim surat pemberitahuan terlebih dahulu. Saatnya selalu tiba-tiba.

Tangan Narun gemetar ketika meletakkan gelas kopi di meja dekat jendela. Ia terus memandangi wajah sang kekasih yang jelas nampak berduka. Dulu mereka tidak pernah bersentuhan karena Bagus selalu memperlakukannya dengan santun. Namun, betapa ingin rasanya ia memeluk Bagus sekarang. Memberinya cinta yang luar biasa dan menghibur hatinya. 

“Narun ….”

Mendengar namanya disebut, seketika Narun mendongak. Kedua tangannya menghapus air mata yang deras bercucuran. Dilihatnya Bagus gemetar sambil memegang gelas kopi yang tadi diletakkannya. Pandangan Bagus menjelajah seluruh ruang kamar, lalu terduduk lunglai di atas tempat tidur.

Perlahan, Narun melangkah keluar kamar. Di sini, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. []

 

 

~achakawa


Terinspirasi oleh lagu berjudul UNCHAINED MELODY oleh Rigtheous Brother (cipt. Alex Nort & Hy Zaret)


Editor: Windy Effendy


No comments