Problematika Perempuan dari Masa ke Masa; Sebuah Ulasan Sederhana Film “Pangku”


Oleh: Wina Bojonegoro

           

“Apakah kamu punya istri?” tanya Tika pada Hadi.

“Aku mau punya anak. Kamu mau punya suami?” jawab Hadi setelah berdiam sejenak.

***

Jika Anda adalah perempuan yang mendengar lelaki di dekat Anda melontarkan pertanyaan seperti itu kepada Anda, bagaimana hati Anda? Klepek-klepek.

Mungkin serasa ribuan kupu-kupu berdesakan dalam rongga dada. Seketika itu juga, dunia  Anda begitu penuh, riuh, gemuruh.

Gambar Berbicara

Begitulah lelaki tokoh utama film Pangku mencuri perhatian penonton. Mungkin, bagi Reza Rahadian dan Felix K. Nesi, lamaran verbal serupa “Maukah kau menikah denganku?” atau “Would you marry me?” terlalu mainstream.


Kata-kata puitis Hadi itu bukan satu-satunya daya tarik yang membuat Anda bertahan di kursi bioskop selama 1 jam 40 menit. Ada banyak hal lain yang jauh lebih puitis dari kata-kata. Sudut pandang scene pertama saat sopir truk menurunkan Tika di tengah perjalanan, misalnya.

Gambar yang sengaja diambil dari posisi tengah ke bawah sehingga hanya mempertontonkan kaki-kaki jelata itu juga romantis. Kadang kala, yang terpenting memang hanyalah tetap menapaki kerasnya hidup.

Film yang meraih empat penghargaan di Festival Film Busan itu memang sarat potret kemanusiaan. Gambar-gambar berbicara dengan bahasa yang jauh lebih pilu dari sekadar kata-kata. Rumah-rumah di pesisir yang pasti beraroma asin, warung-warung darurat dengan perabot sekadarnya, para penghibur dengan musik dangdut yang pokoknya bisa bikin joget, rok mini, atasan ketat dengan motif leopard, dan gincu berwarna mencolok.

Gambar-gambar itu ditampilkan dengan sinematika yang lembut tapi menusuk. Adegan Sartika mencangkul dengan backsound Bayu menangis dalam ayunan merupakan gabungan antara audio dan visual yang dramatis.

Problematika Perempuan Indonesia

Saya tidak yakin generasi muda, milenial bahkan gen Z, paham apa itu Kopi Pangku? Kawasan Pantura di waktu malam adalah wilayah remang-remang yang menyediakan jasa istirahat bagi para sopir truk antarkota antarprovinsi.

Kopi dipercaya sebagai satu-satunya teman setia bagi para perunut Jalur Pantura yang keras. Jasa pijat sambil dipangku atau yang lebih dari itu adalah pelengkap yang “wajar” menyertai perjalanan mereka yang sehari-hari hidup di atas roda.



Sartika yang diperankan dengan sangat prima oleh Claresta Taufan adalah potret klise perempuan Indonesia yang harus menghadapi belitan hidup. Tidak dijelaskan apakah Sartika hamil di luar nikah, atau ditinggal suaminya menikah lagi, atau bahkan suaminya mati ditembak bromocorah?

Penonton hanya dipertemukan dengan sosok Sartika yang hamil delapan bulan, numpang truk, dan diturunkan di pinggir jalan di Jalur Pantura.

Dalam dunia kaum marginal, sering kali tidak penting menelisik siapa dan apa latar belakang seseorang yang datang dan jelas membutuhkan pertolongan. Begitu pula Maya, pemilik warung kopi yang telah kehilangan singgasana “pangku”-nya karena usia. Begitu saja dia menerima Sartika, seperti ritme hidup yang datang dan pergi bersama aroma asin keringat para perunut Jalur Pantura.

Meski judulnya Pangku, film debutan Reza itu justru tidak berfokus pada persoalan gadis pangku yang stigmanya selalu mendikotomikan moralitas dan beban finansial. Tanpa terasa, penonton digiring pada ketabahan Sartika dan anaknya, Bayu, yang harus menjalani kerasnya dunia tanpa meratap.

Tidak Perlu Konflik Keras

Perjalanan hidup sendiri adalah konflik. Ketika bayi lahir ke dunia dan plasentanya diputuskan, saat itulah manusia mengenal konflik pertamanya. Film ini tak hendak menggurui atau berkhotbah ndakik-ndakik. Pangku hanya memotret kehidupan.

Inilah perjuangan perempuan Indonesia. Tak peduli tahun 1998 atau tahun 2025, persoalan perempuan masih tetap sama: tak berdaya di hadapan lelaki dan cengkeraman kehidupan.

Di era medsos yang menggila ini, ada banyak perempuan korban love scam. Mereka tertipu lelaki asing yang hadir dalam kemasan tampan dan gagah. Di desa tempat tinggal saya, banyak perempuan muda menyerahkan hidupnya pada lelaki yang terlihat baik pada awalnya. Pada saat yang sama, para orang tua berharap tanggung jawab mereka terhadap si anak bisa mereka limpahkan kepada lelaki yang mereka sebut menantu.



Sartika berbeda. Sartika memilih menghadapi kenyataan dengan terus berjuang. Ia tidak menyerah. Meskipun harus kembali menjadi Gadis Pangku setelah hubungannya dengan Hadi berakhir, ia mampu mencegah anak-anaknya ikut jejaknya.

Gerobak Mie Ayam buatan Hadi menjadi sumber penghasilan baru. Anak-anaknya tak perlu menunggui warung dan menanti pelanggan, mereka bisa beraktivitas dalam terang, bukan di bawah lampu remang-remang.

The Unperfect of the Perfectionist

Reza sebagai penulis naskah dan sutradara telah panen puja-puji sejak Pangku diputar di bioskop mulai 6 November 2025. Air mata penonton tumpah di beberapa scene menyentuh.

Masih adakah catatan yang harus dicermati ? Sebagai penonton, saya melihat ada beberapa celah yang masih bisa disempurnakan. Pertama, adegan saat Bayu baru lahir dan diberi air tajin karena ASI belum mengalir. Mungkin talent manager kesulitan mencari bayi yang masih merah.

Penonton yang sebagian besar perempuan dan rata-rata sudah menjadi ibu disuguhi pemandangan bayi “baru lahir” yang posturnya sudah berusia lebih dari sebulan. Bahkan, bisa jadi sudah tiga bulan.

Kedua, kegelapan asal-usul Sartika. Untuk kepentingan jalan cerita, hal tersebut mungkin memang tidak penting. Namun, bagi penonton seperti saya, gap itu membiangkan pertanyaan. Sartika bukan alien yang tiba-tiba muncul di muka bumi kan? Ia adalah entitas yang ada karena sebab. Jadi mestinya ada sedikit pencerahan tentang asal-usulnya. Mungkin dalam rupa dialog atau kilasan-kilasan masa lalu (flash back).

Ketiga, latar waktu 1998. Linimasa diwakili TVRI dan berita. Namun, saya tidak bisa melihat korelasinya. Ada yang berdalih jika setting dibuat pada masa kini, mungkin Sartika akan mengeluh di Tiktok lalu viral dan anggota DPR berbondong-bondong membantu. Atau, bisa jadi Sartika akan hadir di podcast artis-artis.



Ya, apa pun alasannya, saya belum menemukan benang merahnya. Apa hubungan Kopi Pangku dan Peristiwa 1998? Saya berpikir dan berharap Pangku terkait dengan akar kekeruhan Jalur Pantura yang keras dan binal, atau dampak sosial ekonomi pasca keriuhan 1998.

Meski harapan saya tidak terpenuhi, saya tetap mengacungkan jempol.

Reza sepertinya telah meracik semuanya dengan tepat. Pemilihan lagunya, kenaturalan dialog dan akting pemainnya, sinematografinya, semunya mengagumkan. Pangku mengingatkan saya pada pada film-film Garin Nugroho dan Eros Djarot.

Yang tak bisa dibantah, tentu kepiawaian Christine Hakim sebagai Maya. Christine tak pernah gagal memerankan apa pun. Kehadirannya di Pangku menghidupkan banyak sekali adegan. Dan, Fendi Nuril. Oh, satu ini. Kenapa Reza memilih dia ya?  (WB)


No comments