Setiap kali menginjakkan
kaki ke pasar dan mataku menatap butiran putih gemuk yang menggemaskan itu, aku
pasti membelinya barang sekilo. Beras
ketan. Beras jenis itu memang dua kali lebih mahal jika dibandingkan beras
biasa. Apalagi, kegunaannya bukan untuk sehari-hari. Beras ketan biasanya
diolah menjadi penganan saat hajatan khusus saja atau saat momen istimewa tiba.
Beras ketan selalu
mengingatkanku pada Ibu. Beliau mengajariku membuat berbagai makanan olahan
dari ketan, seperti, lemper, lupis, ketan bubuk, bubur ketan hitam alias komot,
jadah, onde-onde, lepet, mendut dan banyak lainnya.
Sebenarnya, Ibu tak
pernah secara khusus mengajariku. Namun, pada masa itu, anak-anak wajib
membantu orang tua mereka di dapur. Ibu tidak secara langsung memberitahukan
kepadaku cara-cara mengolah penganan dari beras ketan. Beliau menularkannya
dalam diam saat aku membantu menyiapkan bahan dan alat. Beliau membiarkanku
mencarikan daun pisang, memarutkan kelapa, atau menumbuk beras ketan yang sudah
matang saat hendak membuat jadah.
Meskipun sepanjang
proses tidak ada instruksi yang Ibu suarakan, otakku detail mencatat apa-apa
saja bahan yang dibutuhkan dan bagaimana cara mengolah penganan-penganan itu.
Ada kenangan yang tak
mungkin kulupakan tentang Ibu dan beras ketan. Tepatnya, lemper. Saat itu,aku
diterima di Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP)[1] yang
merupakan satu-satunya sekolah lanjutan tingkat atas di Kota Bojonegoro. Ibu
membuat sejumlah besar lemper dengan ukuran tidak biasa, lebih besar dari
biasanya.
Ibu menata lemper-lemper
jumbo itu dalam baskom besar lalu membungkusnya dengan taplak meja. Setelah
itu, Ibu memintaku membawa baskom berisi lemper istimewa itu ke kota. Aku ingat
betul, saat itu masih awal tahun ajaran baru.
“Ini untuk Pak Setiadi
yang sudah membantumu diterima masuk sekolah negeri. Kamu jadi satu-satunya
anak Ngasem yang diterima di sana,” ucap Ibu waktu itu.
Aku menurut saja.
Selepas subuh, kubawa baskom berisi lemper-lemper jumbo yang diselimuti taplak
batik seperti jika buwuh ke orang
hajatan itu. Tetapi, ada yang mengganjal di dadaku. Setamat SMP, aku mendaftar
ke dua sekolah negeri, SMEA dan SMPP. Di dua sekolah itu, aku diterima lewat
prosedur normal. Lalu, mengapa Ibu menyebut Pak Setiadilah yang membantuku
masuk SMPP?
Pertanyaan itu terus
menguasaiku dalam perjalanan menuju kota pagi itu. Aku pangku baskom bertaplak
itu saat duduk di angkot. Di dalam angkot yang duduknya berhadap-hadapan itu,
aku merenung. Mengapa Ibu membuatkan lemper istimewa nan lezat ini untuk Pak
Setiadi? Padahal, aku ini anaknya. Aku pula yang berjuang mati-matian hingga
lulus ujian dengan nilai gemilang.
Mengapa justru Pak
Setiadi yang mendapatkan sebaskom lemper dan aku hanya boleh mencicipi dua biji
saja? Mengapa pula aku tidak dibekali sejumlah lemper untuk kumakan di rumah
Budeku? Waktu itu hingga menyelesaikan pendidikan di SMPP, aku ikut Bude yang rumahnya
lebih dekat dengan sekolah. Budeku tinggal di kawasan Jambean, Kota Bojonegoro.
Dibayangi banyak
pertanyaan, sampailah aku di rumah Pak Setiadi. Setelah dipersilakan masuk, aku
segera menyerahkan sebaskom lemper dari Ibuku. Dalam perbincangan dengan Pak
Setiadi dan istrinya hari itu, barulah aku tahu apa jasa Pak Setiadi di balik
keberhasilanku masuk SMPP.
Ternyata saat aku
mengirim surat kepada Pak Setiadi untuk menanyakan cara mendaftar di SMPP,
suratku ngendon di kantor pos. Ayah
mertua Pak Setiadilah yang kemudian mengambilnya ke kantor pos dengan mengayuh
sepeda tua. Begitu suratku dibaca oleh Pak Setiadi, beliau segera menuliskan
surat balasan untuk Bapak. Beliau memberitahukan kepada Bapak, syarat apa saja
yang harus kami siapkan untuk mendaftar di SMPP.
Mendengar cerita itu,
mendadak aku merasa sangat bersalah. Mengapa aku sampai merepotkan mertua guru
favoritku? Mengapa suratku tak sampai ke
alamat tujuan? Apakah perangko yang kutempelkan di amplopnya kurang? Ataukah
karena aku kurang lengkap menuliskan alamat rumah Pak Setiadi? Ah. Aku tak
habis pikir mengapa suratku sampai ngendon
di kantor pos.
Begitu mendengar
kerepotan ayah mertua Pak Setiadi dan respons cepat Pak Setiadi terhadap
suratku, rasa bersalahku menggunung. Sebagai anak desa yang bau kencur, ketika
itu aku pun terlalu malu untuk bertanya lebih detail perkara suratku.
Setelah misi mengirimkan
lemper-lemper jumbo nan lezat buatan Ibu tuntas, aku pulang ke rumah Budeku.
Kubawa baskom yang kini kosong. Kepada Bude, aku bercerita tentang
lemper-lemper buatan Ibu yang hanya kucicipi dua biji itu. Rupanya, Budeku
tersentuh mendengar ceritaku.
“Besok kita bikin
lemper,” sahutnya.
Aku girang mendengar
perkataan Bude. Esoknya, aku membantu beliau membuat lemper.
Namun, lemper buatan
Bude tidak sama dengan buatan Ibu. Ibu biasa membuat isian lemper dari daging
ayam kampung yang direbus dengan bumbu jangkep[2],
lalu disuwir halus. Sebelum memadukannya dengan beras ketan yang dimasak
terpisah, Ibu biasanya menggongseng lagi suwiran ayam dengan bumbu jangkep yang tersisa. Sensasi gurih,
manis, dan asin berpadu dengan wangi ketan yang dikukus dengan tambahan daun
pandan dan santan.
Berbeda dengan Ibu,
isian lemper Bude adalah abon daging sapi. Karena itu, Bude tidak perlu
repot-repot membuat isiannya karena bisa dibeli jadi di toko.
Selain isiannya,
perbedaan lemper Ibu dan Bude terletak pada kemasannya. Ibu membungkus
lempernya dengan daun pisang, satu per satu. Setelah ketan diberi isian ayam
suwir, Ibu memadatkannya dengan bantuan plastik sampai bentuknya lonjong
sempurna. Selanjutnya, lemper yang cantik itu Ibu bungkus dengan daun pisang
muda.
Sementara itu, cara Bude
lebih praktis. Beliau meletakkan beras ketan yang sudah dikukus pada lembaran
daun pisang yang lebar, lantas meletakkan abon daging sapi di atasnya. Setelah
itu, Bude menutup isian itu dengan ketan sebelum menjadikannya gulungan besar.
Jika hendak memakannya, barulah Bude mengiris gulungan lemper itu. Tampilan
lemper buatan Bude mirip dengan bolu gulung.
Meski berbeda jauh, dua
versi lemper itu sama-sama kusuka. Maklum, masa SMPP bagiku adalah masa semega, yakni masa doyan makan. Lemper
versi Ibu dan lemper versi Bude sama-sama enak buatku.
Pagi ini aku memasak
beras ketan dengan menambahkan daun pandan dan santan, semata untuk mengobati
rinduku pada Ibu. Aroma gurih wangi santan dan pandan melayangkan kenanganku
pada masa-masa membantu Ibu di dapur. Hanya saja, kali ini aku membuat lemper versiku
sendiri.
Ketan yang sudah matang
kuisi dengan serundeng kelapa yang aku buat beberapa waktu lalu dengan campuran
bumbu jangkep dan suwiran daging ikan tongkol. Kemasan lemperku sama dengan
Ibu. Aku membungkusnya dengan daun pisang satu per satu. Sebelum menjadikannya
bungkus, daun pisang yang kuambil dari kebun itu aku kukus sebentar agar layu
dan mengeluarkan aroma khasnya.
Aroma daun pisang,
santan, dan pandan berpadu di dapurku. Lemper buatanku juga menyajikan rasa
yang lain daripada yang lain. Perpaduan aroma dan rasa ini tak mungkin ditemui
di tempat lain di dunia ini.
Swarga langgeng, Ibu.
(*)
Omah Padma, 2024
Editor: Hep
[1] SMPP Bojonegoro sekarang
menjadi SMAN 2 Bojonegoro.
[2] Terbuat dari gabungan semua
rempah dan bumbu inti yang ada di dapur.
[1] SMPP Bojonegoro sekarang
menjadi SMAN 2 Bojonegoro.
[2] Terbuat dari gabungan semua
rempah dan bumbu inti yang ada di dapur.
No comments