Mens sana in
corpore sano. Di dalam
tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Namun, menyeimbangkan kesehatan
fisik dan mental itu bukan hal yang gampang. Dilan saja belum tentu sanggup.
“If you are unhappy, then you will be unhealthy.” Kalimat itu menggaung di Galeri LuPuis, Omah Pojok, Surabaya, pada Sabtu (24/5) lalu. Inge W. Benjamin, narasumber talk show Waspada Kesehatan Perempuan (Women’s Health Matters), tidak hanya 1-2 kali mengucapkannya. Tiap kali kalimat itu diperdengarkan, sekitar 20 perempuan di hadapannya manggut-manggut.
Pagi menjelang siang itu, Perempuan Penulis Padma
(Perlima) berkolaborasi dengan Akademia Perempuan menggelar talk show bertema kesehatan perempuan.
Pokok bahasannya adalah kesehatan reproduksi, khususnya kanker rahim dan kanker
payudara.
Di layar, satu demi satu salindia tentang anatomi tubuh
dan alat reproduksi perempuan ditampilkan. Para peserta menyimak penjelasan
Inge sembari tersenyum dan sesekali tersipu. “Kalau mandi itu, sambil diraba,
dikenali sendiri tubuhnya. Tidak boleh ada benjolan di area vagina dan
payudara. Jika sampai ada, harus langsung waspada. Bila perlu, periksa ke
dokter,” tegas Inge.
Semakin lama, pembahasan semakin serius. Gambar organ
reproduksi perempuan yang terkena kanker juga Inge tampilkan di layar. Theresia
yang datang bersama putrinya spontan memalingkan wajah ketika layar menunjukkan
payudara yang kroak karena kanker.
“Aduh! Aku langsung merinding,” ujarnya.
Kanker, menurut Inge,
sulit dirunut penyebab pastinya. Sebab, sel ganas itu berdiam dalam diri setiap
manusia. “Apakah ia akan tetap diam saja atau berubah menjadi monster yang
menggerogoti tubuh kita, semuanya bergantung pada kita sendiri. Hanya kita yang
tahu,” terangnya.
“Jadi, kalau sudah terkena kanker itu tidak bisa sembuh
ya, Dok? Pasti akan meninggal dunia?,” tanya salah seorang peserta kepada Inge.
“Ada yang sembuh juga. Dalam arti, tetap bertahan hidup
hingga bertahun-tahun kemudian setelah divonis kanker. Itu semua sangat
bergantung pada cara kita meregulasi diri kita. Karena itu, penting untuk
mengenal dengan baik tubuh kita dan kekuatannya,” jawab Inge.
![]() |
Peserta menyimak dengan seksama penjelasan narasumber |
Didi Cahya,
peserta asal Surabaya, mengamini penjelasan Inge. “Tidak ada yang lebih
mengenal tubuh kita, kekuatan kita, selain kita sendiri. Betul sekali itu,”
ungkapnya.
Dia lalu
membagikan kisahnya ketika harus mengambil keputusan berat terkait penyakitnya.
“Awalnya saya mengabaikan gejala yang saya rasakan karena ketika saya bercerita
kepada ibu saya. Beliau mengatakan bahwa perempuan memang seperti itu jika
sedang datang bulan. Sakit. Karena itulah saya kemudian menganggapnya biasa
sampai kemudian saya tidak tahan lagi dan ternyata itu adalah penyakit serius,”
beber Didi.
Memaknai
dan Mempraktikkan Mindset Cukup
Hari itu, Inge
memperkenalkan mindset cukup sebagai
kunci kebahagiaan (happiness) dan
kesehatan (healthiness). “Belajarlah
memaknai ‘cukup’ dan mempraktikannya. Itu berkaitan dengan kesehatan fisik dan
kesehatan mental,” pesannya.
Setiap hari,
lanjut Inge, manusia menghadapi tantangan. Penyakit pun adalah tantangan.
“Kapan kita memutuskan bahwa sakit yang kita alami ini perlu diobati atau
dibawa ke dokter spesialis atau dioperasi? Tentunya setelah kita merasa cukup.
Sudah cukup mengabaikan rasa sakitnya, saatnya mencari pertolongan,” urainya.
“Jika dorongan
untuk mencari pertolongan itu kita abaikan, apa yang terjadi? Kita unhappy karena kepikiran terus, overthinking.
Setelah itu, apa yang terjadi? Ya sakit, unhealthy,”
sambung Inge.
Dia menambahkan bahwa mindset cukup itu pun bisa dipraktikkan dalam keseharian. Soal
makan, misalnya. “Biasakan makan secukupnya. Jika sudah cukup, ya sudah. Jangan
mentang-mentang datang resepsi yang makanannya berlimpah, lalu semuanya
dimakan. Akibatnya, kita unhappy
karena memaksakan diri. Lalu? Ya unhealthy,”
kata Inge.
Talk show yang dipandu Titie Surya
itu berlangsung selama sekitar dua jam. Tanya jawab menjadi sesi yang seru
setelah pemaparan Inge tentang perlunya menjaga keseimbangan fisik dan mental.
“Tidak mudah menyeimbangkan fisik dan mental. Itu adalah upaya seumur hidup,”
ucap Inge.
Ketua Perlima, RWilis,
berharap, talk show khas perempuan
seperti itu rutin diagendakan. Tiap bulan, Perlima dan Akademia Perempuan bisa
menggelar diskusi di Omah Pojok. “Topiknya bisa bervariasi nanti. Tapi, kita
perlu menularkan mindset seperti yang
Bu Inge ajarkan tadi kepada lebih banyak orang,” katanya.
Wina
Bojonegoro, founder Perlima,
menyambut baik gagasan Wilis. “Saya senang sekali jika talk show yang idenya muncul spontan dari perbincangan di WAG
Perlima pasca meninggalnya Kirana Kejora ini kemudian jadi agenda tetap,”
ungkapnya.
Dia juga
berterima kasih karena Inge merespons perbincangan di WAG Perlima dengan
langkah nyata. “Saat itu, Bu Inge langsung mengundang Perlima untuk talk show di galerinya. Jelas saja kami
tak mau menyia-nyiakannya. Apalagi, beliau punya latar belakang medis di
samping gelar doktor psikologi klinis yang disandangnya,” imbuh Wina.
Ke depan, menurut dia, talk show kolaborasi Perlima dan Akademia Perempuan di Omah Pojok
akan menghadirkan narasumber berbeda-beda. “Jika topiknya tentang kesehatan,
sudah jelas Bu Inge narasumbernya. Tapi, jika tentang kebugaran atau makanan
sehat atau topik-topik khas perempuan lainnya, Perlima akan mendatangkan
narasumber,” tandasnya. []
Editor: Windy Effendy
No comments