![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Hujan dan sebuah payung
biru di kejauhan. Jantungku berhenti berdetak sesaat. Tidak, itu bukan dirinya.
Itu hanya sebuah fatamorgana yang sering kali tiba ketika aku melihat sebuah
payung biru di tengah hujan.
Mungkin membutuhkan waktu
ribuan tahun bila harus melupakannya. Namun, aku tahu pasti tak ingin
melupakannya. Apalagi saat curahan tetesnya menderas turun tiba-tiba. Di tengah
siang yang tak berbisik bahwa hujan akan tiba, titik air berjatuhan begitu saja
tanpa aba-aba. Menyisakan selengkung warna tujuh rupa yang menghiasi angkasa.
Seperti di hari itu.
Gadis itu berlari menembus
hujan bersama payung birunya. Jalanan lengang di sudut kampus membingkainya.
Aku terpana melihat pemandangan yang ada di depanku kala itu. Bagai melihat
potongan adegan lambat dari sebuah film, ia menuju ke arahku dengan rambut
panjangnya yang berkibar ke sana kemari—dalam sisa hujan, bersama payung
birunya. Di atas sana, sebuah pelangi menggenapi lukisan itu.
Gadis dengan mata cemerlang
bagai bintang itu tiba di hadapanku dengan wajah basah tepercik sisa air yang
menetes dari payungnya. Sebuah senyum bengal terpatri di wajahnya yang kuyup.
“Pak Gara, jangan pergi
dulu. Saya mau mengumpulkan tugas minggu kemarin,” ujarnya sambil menyodorkan
sebuah map plastik berisikan satu bundel dokumen.
Aku seakan terjerembab ke
daratan. Ia, perempuan yang seolah terbang melayang di tengah hujan tadi,
hanyalah seorang mahasiswi tengil yang terlambat menyetorkan tugasnya.
“Anda ke mana saja tadi di
kelas?” tanyaku setelah lekas menguasai diri.
“Eng … saya terlambat masuk, Pak.”
Luar biasa, keberaniannya
mengejarku hingga ke tempat parkir mobil kuacungi jempol. Lalu apakah
menurutnya aku akan menerima tugas yang terlambat ini?
“Menurut Anda, tugas ini
bisa saya terima?” Kucoba mengatur ekspresi wajah sebengis mungkin.
“Iya, Pak. Mohon diterima!”
Ia menunduk dalam-dalam, sambil mengulurkan map itu sedekat mungkin padaku
dengan satu tangan masih memegang payung birunya.
Aku terjerat dilema. Aku
ingin tahu hasil pekerjaannya, tetapi segudang gengsiku sebagai dosen menahanku
menerima berkas itu.
Kubuka pintu mobilku.
“Tidak,” kataku singkat.
“Yah, Pak Gara! Saya janji,
hanya hari ini saya terlambat. Setelah ini saya akan jadi murid teladan di
kelas Bapak!”
Mata itu. Membola,
membinar. Medan magnet yang berputar dan berusaha menarikku semakin dalam telah
membiusku. Dan itu adalah awal pertemuan kami.
Setelah hari itu, mata
kuliah Matematika 2 di kelasnya adalah hari yang tak pernah kulewatkan. Aku
datang lebih awal dan pulang lebih lambat. Hanya untuk mencari di mana sosok
itu berada. Di selasar kampus, di tengah kantin, terutama di dalam kelasku. Aku
sengaja melewati pandangan matanya yang terasa begitu memujaku setiap kali
mengajar di kelasnya—lalu aku akan menatapnya diam-diam ketika tugas sudah
kulemparkan.
Sepertinya semesta selalu
berpihak kepadaku. Tiga bulan setelah pertemuan kami, aku sudah mendapatkan
nomor teleponnya. Dua minggu kemudian, kami sudah saling berbincang lewat kata.
Dua minggu berikutnya, janji temu sudah terlaksana. Dua minggu setelahnya,
jangan ditanya. Itu rahasia.
Rahasia yang tercipta di
antara kami berdua, yang terbelit di antara dunia nyaris sempurna dan terus
bertumbuh di antara geliat asmara. Jangan salahkan kami. Salahkan hujan.
Kini kami terus mencari
waktu dan kesempatan untuk selalu bertemu berdua. Tidak ada yang boleh tahu
bahwa kami telah bersama. Bahagia ini tercipta hanya untuk kami saja. Seperti
rumus matematika yang rumit dan sekaligus menyenangkan itu, kisah rahasia ini
hanya perlu dipecahkan dengan logika-logika cerdas di setiap saatnya. Aku dan
ia, Nana si gadis payung biru, sudah berjanji untuk selalu bertemu di kala yang
tersedia walaupun aral menghadang setinggi Annapurna. Malam ini, kami sudah
berjanji untuk berjumpa seperti biasa.
“Mas, ini kopinya.”
Aku tersentak dari lamunan
panjangku. Dea, istriku, meletakkan satu nampan berisi kopi dan kudapan
beraroma kayu manis kesukaanku. Hujan—dan bayangan gadis berpayung biru—di luar
jendela kedai tadi pun lenyap. []
~windyeffendy
Terinspirasi oleh lagu Sonagic
(Sudden Shower) oleh Eclipse
(Lovely Runner OST)
#nulisbarengperlima
#songfictionperlima
#fiksiminiperlima
#suddenshower
#gadispayungbiru
#windyeffendy
Editor: Ari Pandan Wangi
No comments