Kedai Canda dan Snack Ajaib

ilustrasi dibuat oleh AI

 

 

Biasanya, aroma kopi semerbak memenuhi udara Kedai Canda, menciptakan kehangatan yang biasanya mengundang senyum pelanggan—setiap pagi. Namun, tidak hari ini. Di balik meja barista, Revan memandang sepiring camilan dengan ekspresi yang sulit diterka. Jemarinya memainkan serbet di meja, melipatnya berulang kali seolah mencari keberanian—yang entah di mana.

Di dalam piring itu, camilan berbentuk bulat-bulat kecil tersusun rapi. Revan menyebutnya dengan “Snack Ajaib.” Namun, camilan itu bukan sekadar makanan ringan baginya. Itu adalah harapan baru, usaha untuk mengenang almarhum istrinya, Rania. Malam-malam panjang di dapur dengan percikan tepung di meja dan wangi rempah khas milik Rania kembali terlintas di pikirannya. Ia bisa membayangkan Rania tersenyum kecil sambil berkata, “Mas, makanan yang enak selalu bikin orang bahagia.”

Derit pintu kedai membuyarkan lamunannya. Pak Aryan, pelanggan setia yang selalu datang tepat pukul delapan pagi, masuk dengan senyum ramah. Ia mengenakan jas abu-abu yang sudah mulai pudar warnanya, tetapi wajahnya tetap semringah.

“Pagi, Pak Revan!” sapanya ceria. “Hari ini ada apa yang spesial?”

Revan mencoba tersenyum, meski bibirnya terasa kaku.

“Pagi, Pak. Ada camilan baru. Silakan dicoba,” katanya sambil mendorong piring kecil itu ke arah Pak Aryan.

Tanpa ragu, Pak Aryan mengambil satu keping dan menggigitnya. Namun, wajahnya berubah drastis. Ia terbatuk kecil, buru-buru meraih segelas air putih di meja.

“Wah, ini … asin sekali, Pak Revan!” serunya dengan ekspresi setengah terkejut, setengah meminta maaf.

Tawa meletus dari arah meja belakang. Seorang pemuda yang juga mencicipi camilan itu ikut berseru, “Pak, ini camilan apa garam murni sih? Astaga, ini rasanya kayak ... garam buat ikan asin!”

Derai tawa mulai memenuhi ruangan. Suasana yang biasanya hangat berubah menjadi sorakan riuh, seolah semua orang berlomba-lomba memberikan komentar.

Revan menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Tangannya sibuk mengelap meja yang tidak kotor, sekadar untuk mengalihkan perhatian. Papan kecil bertuliskan “Memasak adalah seni berbagi kebahagiaan” yang dipasang Rania di dinding terasa seperti sindiran pedih.

“Ini bukan berbagi kebahagiaan,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Dari sudut ruangan, Bu Vania, pelanggan yang sudah bertahun-tahun berkunjung di Kedai Canda, bangkit dari kursinya. Dengan langkah tenang, ia menghampiri Revan.

“Pak Revan,” katanya lembut, “camilan ini sebenarnya punya potensi. Tapi mungkin kalau ditambah gula, rasanya lebih seimbang.”

Revan hanya mengangguk, bahunya sedikit merosot. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata seperti menguap begitu saja.

Pintu kedai kembali berderit, kali ini disusul langkah berat yang langsung dikenali Revan. Dimas, sahabat lamanya, masuk sambil melambaikan tangan.

“Revan!” serunya, “kenapa kedai ini riuh banget? Ada acara apa?”

Revan menghela napas panjang. “Snack baru: gagal,” katanya singkat.

Dimas mengambil satu potong snack dari piring tanpa bertanya. Ia menggigitnya, lalu meringis kecil. “Wah, ini kayak tantangan makan ekstrem, Van! Tapi aku punya ide.”

Revan memandang sahabatnya dengan alis berkerut. “Ide apa? Ini jelas-jelas memalukan.”

Dimas tertawa kecil sambil menepuk bahu Revan. “Justru itu! Kenapa nggak dijadikan tantangan rasa? Kita promosikan ini sebagai snack ekstrem. ‘Berani coba snack paling asin di dunia?’ Dijamin viral!”

Revan menatapnya dengan ragu. Namun, di sudut pikirannya, ide itu terdengar masuk akal.

Hari-hari berikutnya, Revan mulai merombak kedainya. Ia mencoba menambahkan gula ke dalam resep, sesuai saran Bu Vania, tetapi tetap menyimpan versi “ekstrem” seperti usul Dimas. Di dinding depan, ia memasang papan promosi dengan tulisan besar: “Berani Coba? Snack Garam dari Planet Mars!”

Pelanggan mulai berdatangan, penasaran dengan camilan ekstrem itu. Kelompok remaja sering datang hanya untuk memamerkan keberanian mereka. “Ayo, siapa yang bisa makan tiga potong tanpa minum air?” seru seorang anak muda, disambut sorakan dari teman-temannya.

Tak butuh waktu lama, video tentang “Snack Garam dari Planet Mars” menjadi viral di media sosial. Kedai Canda mendadak ramai, bukan hanya dengan pelanggan setia, tetapi juga orang-orang baru yang penasaran.

Malam itu, setelah kedai tutup, Revan duduk sendiri di dapur. Di hadapannya, toples kecil berisi rempah khas buatan Rania berdiri tegak. Ia membuka tutupnya, membiarkan aroma rempah itu menyeruak ke udara.

“Rania,” bisiknya dengan suara bergetar, “kamu benar. Memasak memang seni berbagi kebahagiaan. Dan sekarang, kedai ini penuh dengan tawa. Terima kasih, ya.”

Revan menatap papan kecil di dinding yang pernah terasa seperti ejekan. Malam itu, kata-kata di papan itu terasa hidup kembali, seperti pelukan hangat yang menyelimuti hatinya. []

 

~febriyantids

Terinspirasi oleh lagu berjudul: Titanium oleh David Guetta ft Sia

 

#nulisbarengperlima

#songfictionperlima 

#fiksiminiperlima

#titanium

#kedaicandadansnackajaib

 

Editor: Ihdina Sabili

No comments