![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
“Gue enggak
mau, ya, orang itu ada di rumah ini! Gila aja!”
Suara Katrin
melengking, histeris. Dahinya berkerut, mata membelalak, tangannya bergerak
sesuai emosinya, tak terkendali.
Di mataku,
mata itu siap mengucurkan air mata tak natural. Katrin tampak mengejan,
memaksakan tangis. Ia tampak terpukul dan terguncang. Di sekeliling Katrin,
teman-temannya merangkul dan mengelus punggungnya, mengajak duduk dan
menenangkannya.
Malam ini
banyak orang berkumpul di rumah Ira, sahabatku. Semua keluarga, teman dan
tetangga, hadir di bawah tenda yang didirikan di jalanan depan rumah. Ibunya
baru dimakamkan tadi siang, dan malam ini ada pengajian, baru saja selesai
beberapa saat lalu. Om, tante, dan para sepupunya berdiri, berjaga seketika
mendengar keributan dan teriakan kakak Ira itu, termasuk aku.
Dengan
kehadiran banyak orang takziah, situasi tadi rasanya tak layak ada. Semua orang
diajarkan untuk meredam emosi dan mengesampingkan semua persoalan pada
momen-momen tertentu, di mana banyak orang tak selalu saling kenal berkumpul.
Malam itu benar-benar momen untuk mendoakan almarhumah dan mendampingi keluarga
yang ditinggalkan melewati kedukaan.
Orang yang
menyulut kemarahan Katrin berdiri diam di pojok pagar rumah. Om Jiwo, adik
ibunya. Aku pernah dikenalkan kepadanya di masa kami kecil dulu. Wajahnya datar
tanpa senyum dan tanpa duka. Sikapnya yang menahan diri sebetulnya cukup
membantu membuat suasana tidak semakin panas.
Namun, aku
dan Ira tahu, Katrin ingin Om Jiwo pergi saja. Om Jiwo mengusik luka hati
Katrin karena pertengkaran mereka di masa lalu. Kabarnya, pertengkaran itu
tentang waris rumah eyang yang mereka tempati bersama ibunya.
Salah satu
tante terdengar memanggil Katrin untuk masuk ke dalam rumah. Aku membantu
meneruskan panggilan itu pada Katrin, yang terus meracau dan menangis meski
tidak lagi berteriak-teriak. Mungkin, tante itu ingin meredakan gesekan
berikutnya.
Ira duduk di
kursi samping tempatku berdiri, mengembuskan kasar napasnya. Aku duduk di
sampingnya. Matanya lurus menatap jari jemari yang ditangkupkan. Air mata
mengalir di sudut matanya.
“Apa lagi,
sih, ini? Enggak bisa apa, ya, kasih waktu sebentar ngerasain kehilangan gini?
Kakak gue, tuh ….” Suara keluhnya terhenti, tercekat.
Kuberikan
minumku yang tersisa setengah botol untuk melonggarkan tenggorokannya.
“Gue tahu,
Nin … setelah ini, mungkin gue gak
bisa lagi tinggal di sini. Lihat ‘kan, om gue yang itu. Belum apa-apa udah bawa
koper aja. Kuburan Ibu masih basah.”
“Nginep aja
kali, Ra. Rumah dia jauh ‘kan, di Bekasi. Ujung ke ujung dari Tangerang sini.”
Aku mencoba memberinya sudut pandang berbeda.
“Masa iya,
harus koper? Ransel aja cukup, laki kan enggak ribet kayak kita.” Suaranya
kesal dan terdengar hampir menangis. Kuelus pundaknya, tak mampu mencari
kalimat lain untuk meredam emosinya.
“Jadi, gimana, nih? Biar gak ribut lagi? Kalau om itu nginep juga, apa Mbak Katrin enggak
teriak-teriak terus ngajak berantem?” Aku agak menyesali kalimatku. Bahkan
ketika terdengar di telingaku sendiri, seolah justru memanaskan suasana. Namun,
aku juga lebih memikirkan sahabatku yang lelah dan kehilangan ketenangan di
rumah itu.
“Gue juga
enggak ngerti, belum bisa mikir
sebetulnya. Tapi ….” Ira berpikir agak lama setelah itu. Dia seperti teringat
sesuatu.
“Ah, gue
suruh pulang aja sekarang. Kasihan, itu keluarga gue enggak akan pulang sebelum
Mbak Katrin dan Om Jiwo pisah.”
Aku juga baru
teringat hal ini. Ira pernah bercerita bahwa Katrin sudah lama tidak tinggal di
rumah itu. Ia mengontrak rumah sendiri di dekat tempat kerjanya.
Ira segera
berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Dia bercakap-cakap beberapa saat dengan om
dan tantenya di ambang pintu, sebelum melanjutkan niatnya menemui kakaknya.
Beberapa menit setelah itu, kakaknya tampak keluar bersama dua orang teman.
Berjalan ke arah berlawanan dengan keberadaan Om Jiwo duduk menunggu. Tak lama
setelah itu, seluruh keluarga sepupu Ira juga pamit. Malam sudah larut. Semua
pasti lelah.
“Aman, Nin.
Mbak Katrin pulang. Terserah, deh, Om Jiwo mau nginap berapa lama.”
“Besok, kalau
Mbak Katrin datang, gimana?” tanyaku.
“Menurut lu,
orang yang bahkan enggak pernah datang ketika Ibu sakit kemarin, bakal masih
datang ke sini? Mikirin gue, adik satu-satunya?” suaranya mulai terisak lagi.
Katrin memang
selalu sibuk dengan pekerjaannya. Atau, setidaknya itulah alasan yang selalu
dilontarkan, ketika aku menanyakan ketidakhadiran Katrin di rumah sakit
menemani ibunya. Dan Katrin tidak pernah menanyakan satu kali pun keadaan Ira.
“Gue udah
bodo amat, Nin. Gue sendirian sekarang,” tangisnya pecah bersamaan dengan saat ia menjatuhkan wajah di pelukanku. “Ambil, deh, rumah ini. Terserah! Gue cari
kontrakan, gue kerja. Gue bisa cari hidup. Tapi gue sebatang kara, Nin ….”
Tenggorokanku
terasa sakit tiba-tiba menyadari makna tangisnya. Ira selalu bisa meminta
pertolongan pada sepupu-sepupunya untuk kesulitan keuangan apa pun. Dia tak
pernah takut kesusahan. Rasa sepi yang tiba-tiba menodongnya kini adalah rasa
sakit yang lebih perih daripada sekadar tak punya rumah dan uang. Dia tak
pernah merasa takut kehilangan rumah. Rumah baginya adalah ibunya. Dia
kehilangan tempatnya pulang.
Aku
memeluknya erat. Kubiarkan dia mengeluarkan semua air mata sampai kering.
Mataku sendiri basah di balik punggungnya. Waktu tak terukur lagi dalam
genangan emosi yang pecah saat itu.
“Ira, kita
‘kan memang selalu sendiri,” kataku akhirnya. “Lahir sendiri, sebelum ibu
memeluk kita. Mati sendiri, setelah semua pelukan yang pernah kita rasakan
lepas.”
Aku menata
napas sesaat, mencari kata-kata paling tepat untuk diucapkan. “Ibu lu, rumah
lu, enggak bisa digantikan. Gue mungkin cuma sahabat lu. Gue enggak akan jadi
matahari buat lu. Tapi gue bisa kok jadi angin senja, kayak yang sering lu
tulis dalam puisi-puisi lu itu. Lu boleh selalu bercerita apapun yang lu mau.”
Ira tidak
menatapku. Dia tertegun, mematung memandang jari-jarinya lagi. Napas panjangnya
kemudian yang dihela sangat jelas begitu dalam, menunjukkan dia menerima
kata-kataku.
“Ambil
kata-kata gue ini, sebagai janji. Elu, saudara gue.”
Malam makin
larut, sekitar kami sudah sepi. Angin dingin menagih sesuatu padaku. Kuputuskan
menginap saja malam ini. Janji mulai kutepati.[]
~endanguban
Terinspirasi oleh lagu
berjudul Melukis Senja oleh Budi
Doremi
#nulisbarengperlima
#songfictionperlima
#fiksiminiperlima
#melukissenja
#anginsenjaitumasihada
No comments