LELAKI BERBULU



Pukul 05.45. 

SEBENTAR lagi dia akan lewat di jalan itu. Seperti biasa, mendorong istrinya di atas kursi roda yang tidak baru lagi. Suara rodanya berderik, menimbulkan nyeri di ulu hati. Perempuan itu, sang istri yang tampak tidak sehat, sering melotot-lotot dan kadang menjerit tak menentu. Kadang juga mencakar-cakar. Tetapi, laki-laki berbulu itu dengan tenang tetap mendorong istrinya pelan-pelan, menikmati udara pagi, seolah-olah hanya sebuah boneka yang didorongnya. Wajahnya tanpa ekspresi, selalu begitu. Jika pada jam itu orang-orang sudah mulai keluar rumah dan memandangnya dengan pandangan yang entah berarti apa, laki-laki berbulu itu akan memberikan salam dengan takzim, tanpa ekspresi, selalu begitu.

Beberapa kali kudapati sang istri mendengkur di atas kursi roda itu. Suara dengkurnya lebih membahana daripada suara gergaji. Tetapi, ketika laki-laki berbulu itu berhenti sejenak untuk berbincang denganku, perempuan itu mendadak bangun dan melolong-lolong seperti anjing kejepit pintu. Dengan pandangan tanpa ekspresi, sang suami segera menyerahkan salah satu lengan berbulunya. Si istri meraba-raba bulu itu dengan perasaan tenteram dan wajahnya berubah lunak. Lalu, dia mendengkur lagi dengan seberkas senyum di bibir.

Di awal-awal itu, aku memandang dengan takjub kesetiaan sang suami. Hanya seorang laki-laki hebat yang bersedia dengan rutin–bagai kerja sebuah mesin mekanis–mengajak istrinya menikmati pagi yang masih diselimuti embun. Sembari berdecak kagum, aku mencoba mencari-cari kelompok penyakit yang diderita sang istri. Lalu, aku membaca sebuah literatur bahwa emosi, suasana hati, dan gangguan jiwa berhulu dari adanya gangguan kimiawi otak (neurotransmitter) tertentu. Di otak kita bekerja sampai lima puluhan jenis neurotransmitter. Dua jenis zat kimiawi otak terpenting yang mengendalikan perasaan kita adalah norepinephrine (NE) dan serotonin. Pasang surut kedua senyawa kimiawi otak itu menentukan warna dan nada perasaan kita dari masa ke masa.

 .

Sudah pkl 05.55. 

Laki-laki berbulu itu belum lewat juga. Aku mulai gelisah. Kuku-kuku jari tanganku sudah habis kurajah dengan gigi-gigi runcingku. Gemeretuk gigiku melebihi derit pintu pagar besi karatan. Aku gelisah menanti kursi roda itu dengan penumpangnya serta laki-laki yang setia mendorongnya. Mendadak aku jadi khawatir pada diriku sendiri, jangan-jangan aku juga sudah dihinggapi salah satu jenis penyakit jiwa itu dalam level yang lebih rendah. Menurut literatur yang kubaca, tak kurang dari 70 jenis gangguan jiwa dengan 300 variasi diagnosis, seperti retardasi mental, gangguan panik, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan penyesuaian, sampai gangguan tidur. Nah, saat ini aku sudah memasuki salah satu fase itu, cemas.

Pada suatu waktu dia pernah bercerita kepadaku ketika sang istri tengah mendengkur.

’’Dia seperti itu sejak lima tahun lalu,’’ katanya.

’’Pasti terjadi sesuatu.’’

’’Dia labil.’’

’’Setiap manusia memiliki potensi sakit jiwa,’’ kataku sok tahu, hanya mengutip ungkapan seorang psikolog pada sebuah majalah.

’’Dia rapuh….’’

’’Ya, saya tahu. Kalau tidak, tentu dia tak akan seperti ini.’’

’’Aku tak bisa meninggalkannya barang semenit.’’

’’Dia sangat mencintai Anda, rupanya.’’

’’Ya, tetapi saat saya direngkuh dengan kuat, saya justru ingin lari.’’

’’Dan Anda lari juga akhirnya?’’ tanyaku, menebak seperti kisah-kisah klise zaman sekarang di film-film, sinetron, cerpen, atau kisah-kisah lain yang marak dan sering membuat aku muak melihat tampang laki-laki ketika mereka tersenyum kepadaku. Pasti senyum itu mengandung obat bius untuk membuat perempuan terhanyut, lalu menyerahkan diri secara bulat-bulat. Karena itu, aku benci laki-laki yang tersenyum kepada perempuan.

’’Ya, saya lari kepada perempuan lain.’’

Nah, tuh kan? Betul dugaku, dia seperti laki-laki pada umumnya, laki-laki kebanyakan.

’’Karena dendam atau cinta?’’

’’Tadinya dendam, hanya untuk melarikan diri dari kesumpekan dan iseng-iseng semata. Tetapi, lambat laun, saya jadi cinta. Dan perempuan itu menerima saya apa adanya, menanti di antara remah-remah waktu. Kesabarannya menakjubkan untuk peluang yang hanya sekeping-sekeping.’’

’’Dan istri Anda mengetahui itu?’’

’’Setelah tujuh tahun bersama perempuan itu.’’

’’Lalu, apa yang terjadi?’’

’’Sejak itu istriku menjadi lebih gila. Dulu kukira hanya gila-gilaan untuk menunjukkan cinta sekaligus posesivitasnya kepadaku. Tetapi, sejak cinta terlarangku diendusnya, dia menjadi seperti seekor banteng, suka menyeruduk. Kadang seperti harimau, suka mencakar. Lihat ini….’’ laki- laki berbulu itu menyibakkan jenggotnya yang panjang dan tampaklah beberapa bekas cakaran di leher dan dada. Pikirku, rasain. Jika aku jadi istri yang ditinggal selingkuh selama tujuh tahun, pasti bukan kucakar dia, tetapi kucincang, kumasukkan ke karung, kupendam dengan batu bara yang menyala, lalu kutaruh kambing muda di atasnya, kuputar-putar, dan kunikmati sendiri kambing muda itu hingga tandas. Pasti lezat karena dibumbui bara yang terbuat dari tubuh suamiku.

’’Masih banyak luka lain, di punggungku, di pantatku, di betisku. Kau mau lihat?’’ tanya laki-laki berbulu itu, membuyarkan lamunanku mencincang tubuhnya.

’’Tidak, kapan-kapan saja. Nanti istrimu bangun.’’

“Aku sudah memberinya obat tidur supaya tidak melolong-lolong waktu aku bicara sama kamu.’’

Aku sedikit terperanjat. Tetapi, ada rasa senang. Ternyata, dia menyukai keberadaanku dan entah mengapa aku merasa bangga.

Sejak itu dia selalu memberikan obat tidur kepada istrinya sebelum didorong berkeliling kampung. Dengan demikian, kami selalu punya waktu untuk berbincang ke sana kemari soal harga-harga pokok, pemilu, hingga pekerjaannya sebagai ahli farmasi di sebuah perusahaan obat-obatan. Semula kami membutuhkan waktu satu jam untuk berbincang-bincang. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kami membutuhkan lebih banyak waktu. Seperti tak ada habis-habisnya topik yang menjadi bahasan kami. Di bawah pohon angsana di depan rumahku, setiap pagi kami berdiri dengan tenang. Sangat asyik. Aku seorang yang suka membual dan dia seorang yang punya banyak pengalaman hidup. Jadi, kami berdua pun saling berbual-bual. Begitu terus, tiada henti sepanjang hari. Bagiku, itu menjadi sebuah menu sarapan yang tak boleh terlewatkan. Karena itu, setiap menanti jam kedatangannya, hatiku selalu gelisah. Mirip dengan seorang pemakai yang sedang sakau!

Dan sekarang, jemariku menjadi agak kejang oleh rasa gelisah. Sulit bagiku mengendalikan diri. Aku perlu memijit-mijitnya untuk membuat aliran darahnya menjadi lancar. Beberapa kali aku mengembuskan napas dengan kuat untuk melepaskan kepingan gelisahku. Aku merindukan kisah-kisahnya yang sedikit gila, kepolosannya. Kebodohannya. Kepintarannya. Juga wajahnya yang selalu dingin meskipun dia sedang mengumbar kisah pedih.

 .

07.05.

Suara tak asing itu muncul di kejauhan, derik roda kursi besi. Aku melompat sejauh aku mampu. Laki-laki berbulu itu datang dengan kursi rodanya, tetapi tidak dengan penumpangnya. Wajahnya selalu sama. Dingin. Berbulu di mana-mana. Kumis. Jenggot. Dada. Tangan. Dia berhenti tepat di depan rumahku, di mana aku berdiri menghadang. Matanya memandang tajam ke arahku dan aku memandang wajahnya penuh tanya, bergantian memandang kursi roda yang kosong.

’’Mana istrimu?’’ tanyaku curiga

’’Sudah kubunuh.’’

’’Di mana?’’

’’Di rumah.’’

’’Kenapa kau bunuh dia? Bukankah dia bisa menjadi temanmu? Setidaknya, kau bisa mengajaknya bercanda, menertawai apa saja. Kau bisa ceritakan kejadian-kejadian menggelikan di negeri kita akhir-akhir ini, tentang film Avatar yang bisa mencetak uang melebihi film Titanic, tentang artis yang kawin-cerai, tentang pilkada, apa saja. Begitu banyak bahan cerita yang bisa kau bacakan untuknya, kau bisa berguna bagi dia.’’

’’Tidak lagi.’’

’’Oh, kau sudah lelah, rupanya?’’

’’Tidak. Bukan itu. Dia resek.’’

’’Bukankah dia begitu sudah bertahun-tahun lamanya?’’

’’Kali ini beda. Dia membuat aku kesal.’’

’’Memangnya dia berbuat apa?’’

’’Dia bilang aku anjing buduk.’’

’’Ha.. ha.. ha…!’’ suara tawaku meledak, tak bisa dibendung. Dia membunuh istrinya hanya karena dikatakan anjing? Bukankah dia sudah diseruduk seperti yang dilakukan banteng, dicakar oleh harimau, dan berbagai kegilaan lain? Bukankah itu lebih sakit?

’’Bukannya lebih baik kau dibilang anjing daripada kau dibilang babi?’’

’’Aku tidak suka anjing, ia penjilat.’’

’’Daripada babi, ia jorok.’’

’’Aku tidak suka anjing!’’ Suaranya meninggi. Kali ini berbeda dengan ekspresinya di hari-hari lalu. Aku diam, sedikit ngeri. Dia memain-mainkan pegangan kursi roda seperti hendak didorongnya kursi roda itu selayaknya hari-hari lalu. Aku menahan tangannya, mencoba menyentuh hingga mendekati bulu-bulu di lengannya, seperti yang dilakukan istrinya. Apakah memang terasa tenteram menyentuh bulu-bulu itu?

’’Boleh kan aku duduk di situ?’’ tanyaku penuh permohonan, mungkin ada sedikit dorongan mengiba dalam nada suaraku. Dia menatapku lagi. Wajahnya yang dingin semakin dingin. Bulu-bulu di seluruh tubuhnya tampak makin rimbun dan tebal. Apakah dia lupa merapikannya? Aku sangat menunggu jawaban dari bibirnya. Tetapi, dia membisu.

’’Untuk apa kau dorong kereta ini kemari lagi? Dia sudah kau bunuh. Dan untuk apa kau beri dia obat bius tiap pagi? Bukankah kau ingin bersamaku lebih lama daripada biasanya?’’ 

Kulemparkan sebaris kalimat untuk membuatnya kuat. Itu hanya semacam garis bawah pada sebait peristiwa untuk meyakinkannya bahwa aku menikmati saat-saat bersamanya. Aku menyukai caranya bertutur sapa meski orang lain menganggapnya aneh. Aku juga mengagumi bulu-bulunya. Saat bertemu dan berbincang di bawah pohon angsana adalah saat-saat penuh penantian. Aku ingin dia terus bercerita kepadaku. Akan kubayar dia dengan sepiring nasi goreng yang sudah lama tak pernah dia dapat dari istrinya yang selalu berada di atas kursi roda, meraung-raung pula.

’’Kau pikir aku sedungu itu?’’ tiba-tiba dia menyemburkan kalimat tak terduga itu. Tubuhku terhuyung seketika. Tanganku meraih pohon angsana dengan harapan aku tidak terpental ke bumi.

’’Sudah lama aku memikirkannya….’’

’’Memikirkan apa?’’ bibirku bergetar.

’’Tentang siapa yang harus duduk di sini, menggantikan dia….’’ Aku tidak berani lagi berkata-kata. Aku takut kehilangan dia. Kemarahan, sepertinya, sudah tergambar dengan jelas di sepasang matanya, yang juga dikelilingi bulu.

’’Cinta sejati tak pernah lekang oleh waktu. Tak dapat tergantikan oleh apa pun. Cinta sejatiku hanya milik dia, perempuanku, yang hilang lima tahun lalu. Dia yang berhak duduk di sini. Bukan kau.’’

Aku hanya berdiri menatapnya dan kursi roda kosong itu. Aku tak berani menatap matanya. Sungguh! Aku takut hatiku terluka. Dan jika itu terjadi, pasti aku tak mampu menghentikan aliran air mata.

Laki-laki berbulu itu memandangku sekali lagi sambil bersiap-siap mendorong kursi roda kosong. Suara deriknya makin nyaring.

’’Terima kasih telah menemaniku menghabiskan waktu-waktu luangku yang membosankan selama beberapa bulan ini.’’ Dia berkata demikian seraya melangkah bersama kursi roda tua berderik. Ke mana? Menjemput perempuan sejatinya barangkali? Kupandangi punggungnya yang biasanya tak kupedulikan. Punggung itu sedikit tidak lurus, tetapi masih lumayan tegap untuk usianya. Lalu, aku berharap hujan segera turun dan mengguyur tubuhnya. Aku terus memandang tubuhnya hingga ditelan pengkolan jalan…. [*]

 .

.

Surabaya, Februari 2010

^Telah dimuat di Jawa Pos, 7 Agustus 2011


Cerpen ini didedikasikan untuk Sanie B. Kuncoro. Semoga cepat sembuh dan kita bisa beraktivitas bersama. ~Wina Bojonegoro

No comments