Ditulis oleh Wina Bojonegoro
Saya
pernah pernah membayangkan, suatu saat nanti: peluncuran novel saya, The Souls : Moonlight Sonata & The Souls
: Fantasia, dimainkan dengan orchestra penuh, tentu dengan biola
Antonious
Stradivarious
yang dimainkan Padmaningrum.
Saya ini penulis yang ‘kakehan karep’
sehingga saat peluncuran novel perdana, saya meminang Fileski untuk memainkan
lagu Moonlight Sonata. Sementara saat peluncuran Fantasia (sekuel kedua)
tidak ada pementasan musik, sangat disayangkan, hingga saya bertanya-tanya:
mengapa waktu itu saya tidak membuatnya sebagai sebuah momentum?
Maka, ketika teman saya Heti Palestina
Yunani mengundang saya untuk menghadiri konser musik klasik yang dimainkan oleh
anak bungsunya dan kawan-kawan, seketika saya mencatat di kalender: wajib
hadir. Agenda lain boleh menyesuaikan.
Hari itu, 16
Agustus lalu, di Amadeo Hall Kawasan Surabaya Barat, saya datang dengan begitu
banyak keinginan. Misalnya, saya ingin ada La Champanella yang sangat
memukau jika dimainkan oleh biola, atau Fantasie Impromptu yang rigid dimainkan dengan grand piano di atas sana. Ah, tapi ini
bukan Padmaningrum, tokoh yang saya ciptakan dan saya elu-elukan sebagai gadis
pendiam dengan rambut kemerahan dan kulit cokelat, dengan Antonious
Stradivarious di lengannya. Gadis Gandusari yang menemukan biola di lemari tua
pakdenya.
Pada kenyataannya, orkestra malam itu
adalah sebuah pertunjukan bertajuk Perayaan Suara Rasa. Acara ini
digelar untuk memperingati ulang tahun ke-49 Heti Palestina Yunani, seorang jurnalis
yang hidupnya berkelindan antara sastra, seni lukis, teater, dan musik.
Medium Perayaan Langka bersama Dua Ketuk: Energi Muda dari Yogyakarta
Alih-alih pesta meriah atau seremoni formal, Heti memilih
untuk merayakan hari istimewanya—yang sebenarnya jatuh pada 15 Agustus 2025—dengan
cara yang lebih kontemplatif: sebuah konser musik klasik yang mengundang
refleksi, memecah kebekuan rasa, dan melahirkan fantasi seperti kita menghadapi
kertas kosong yang sedang menanti diwarnai atau ditulisi. Musik menjadi bahasa hangat
yang menyatukan emosi dan kenangan, mewujud sebagai persembahan yang intim
untuk orang-orang di sekitar kehidupan Heti.
Panggung menjadi milik sepenuhnya kelompok
musisi muda Jogjakarta, DUA KETUK, yang terdiri dari mahasiswa berbakat
dari Institut Seni Indonesia (ISI), serta lulusan Sekolah Menengah Musik Yogyakarta.
Formasi mereka mencerminkan keberagaman instrumen dan karakter:
·
El Vatikan:
Gitar klasik
·
Gabriel Amadeus:
Piano
·
Bima Arifin, Hati
Bening: Biola
·
Dhani Ahmad:
Biola alto
· Maigty Simatupang: Cello
Kalau biasanya latar panggung dalam sebuah konser musik klasik selalu hitam atau monokrom, pada pentas kali ini beda. Mewadahi kreativitas anak-anak muda yang menjadi manajemen pertunjukan, mereka membuat kartun-kartun yang mewakili karakter masing-masing pemain. Karakter warna-warni tersebut menjadi hiasan latar panggung. Semua saya merasa agak aneh karena biasanya musik klasik identic dengan hitam, dan tidak memberi kesempatan para pemainnya untuk mengenakan perhiasan yang mencolok, kehadiran warna dan karakter ditambah dresscode pemain yang berwarna biru, menjadi sebuah anomali. Mungkin ini sebagai bentuk perwakilan jiwa muda dalam darah para pemain dan tim manajemen DUA KETUK.
Persembahan untuk Mama
Cobalah bayangkan: Seorang ibu duduk di dekat jendela besar
pada sebuah rumah berlantai dua bergaya Eropa.
Cahaya sore menyinari wajah ibu dan anak. Sang ibu menyanyi sambil
memeluk anak dalam pangkuannya, dengan
latar belakang sebuah piano tua atau biola tergantung di dinding. Inilah gambaran
musik pembuka yang dimainkan secara solo oleh El Vatikan dengan gitar
kesayangannya.
Songs
My Mother Taught Me adalah lagu paling terkenal karya
Antonín Dvořák
dari rangkaian karya berjudul Gypsy Songs, Opus 55. Lagu ini dikomposisikan
pada 1880. Teks lagu berasal dari kumpulan puisi karya Adolf Heyduk.
Komposisi melankolis ini menggambarkan
seorang anak yang mengenang lagu-lagu yang diajarkan oleh ibunya—bukan sekadar
melodi, tetapi warisan emosional dan spiritual. Lagu ini pun menjadi pembukaan
yang penuh keintiman, persembahan seorang anak kepada ibunya yang
membesarkannya sendirian, di antara perjuangan melawan penyakit asma.
Dengan petikan yang lembut dan penuh perasaan, El Vatikan menghadirkan suasana reflektif yang langsung menghubungkan penonton dengan tema besar acara: suara yang membangkitkan rasa.
Repertoar dan Nuansa
Sepanjang pertunjukan selama 2 jam, DUA KETUK menampilkan karya-karya klasik dari
komposer dunia seperti Astor Piazolla, David Popper, Amy Beach, Frans Schubert,
Robert Schumann, dan lain-lain. Satu penampilan
yang menawan hati saya adalah ketika mereka memainkan komposisi terakhir.
DUA KETUK menutup penampilan dengan format
quintet, membawakan karya kontemporer
Lukas Sommer berjudul Third Letter To Father (2024). Komposisi ini
sangat ekspresif, penuh dinamika dan kejutan musikal, seolah menjadi surat
terbuka yang mengandung luapan emosi, kerinduan, dan pencarian makna.
Penampilan ini menjadi klimaks yang
menggugah, menegaskan bahwa musik klasik tidak hanya bicara masa lalu, tetapi
juga masa kini dan masa depan. Tetapi, saya lantas berpikir. Apakah El Vatikan
sengaja memasang komposisi terakhir ini untuk sang ayah yang tidak hadir setiap
saat untuknya?
Makna Budaya dan Spirit Komunal
Perayaan Suara Rasa bukan sekadar
konser, melainkan sebuah pernyataan budaya: bahwa musik klasik masih relevan,
hidup, dan mampu menyentuh hati generasi muda. Kehadiran DUA KETUK sebagai
representasi musisi muda menunjukkan bahwa warisan musik klasik tidak hanya
dijaga, tetapi juga dihidupkan kembali dengan semangat baru.
Acara ini juga menjadi simbol dari
semangat komunitas seni di Indonesia yang terus berkembang, saling mendukung,
dan merayakan pencapaian satu sama lain. Dalam suasana hangat dan penuh
apresiasi, ulang tahun Heti Palestina Yunani menjadi momentum untuk merayakan
bukan hanya satu individu, tetapi seluruh ekosistem seni yang ia bantu bangun.
Jika boleh menyayangkan satu hal dari
pertunjukan ini adalah: lampu ruangan yang terus menyala sepanjang acara.
Tangan saya sudah gatal ingin mencari sakelar, untuk mematikan lampu,
menyisakan lampu yang menyorot panggung saja. Pasti suasana jauh lebih khidmat
dan syahdu—jika demikian. Namun begitu, Perayaan
Suara Rasa tetaplah sebuah oase di tengah riuhnya sound horeg yang
saat ini mewabah, fenomena yang potensial menjadikan generasi muda sebagai pencinta diskotik jalanan.(WB)
Editor: Windy Effendy
No comments