![]() |
ilustrasi dibuat oleh AI |
Perempuan itu menggulir layar ponselnya dengan jempol yang mulai pegal. Wajah-wajah sempurna berpose di kafe estetik, menikmati latte art berbentuk hati, dan liburan ke kota-kota yang hanya bisa ia impikan. Cahaya dari layar memantul di pipinya yang sedikit kusam.
Ia menghela napas. Unggahannya sendiri tak kunjung mendapat cukup like. Angka di sudut bawah foto itu terasa seperti nilai rapor yang menentukan eksistensinya. Matanya menatap layar lebih lama, seperti berharap angka itu bertambah dengan sendirinya.
Ruangan kosnya berukuran tidak lebih dari 3x3 meter, dengan dinding bercat putih yang mulai menguning. Meja riasnya dipenuhi kosmetik sponsor, tripod kecil berdiri di sudut ruangan, dan sebuah ring light yang terguling di lantai. Sudah lama ia tak menyalakannya.
Tanpa rencana, ia menarik jaket dan melangkah keluar. Udara malam masih menyisakan hawa hangat. Langkahnya membawa ke sebuah pameran vintage di pusat kota. Aroma buku tua, kayu lawas, juga serpihan debu halus menyergapnya. Cahaya temaram dari lampu gantung antik membuat atmosfer di sana terasa hangat. Suara gesekan kursi kayu dan dentingan logam dari jam tua menambah kesan magis tempat itu.
Di sudut ruangan, seorang lelaki sibuk menyusun koleksi barang antik. Dari perawakannya, lelaki itu tampak lebih tua beberapa tahun darinya. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya. Lengan baju yang tergulung, terlihat nyata gradasi kulitnya, seperti bekas gelang silikon melekat. Lelaki itu memperhatikannya, dan mata mereka sempat bertemu.
Perempuan itu menyentuh sebuah topi fedora tua.
"Berapa harganya?" tanyanya, lebih untuk memulai percakapan daripada benar-benar ingin membeli.
Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi geli. "Untukmu, cukup dengan satu senyuman tulus."
Perempuan itu mengernyit. "Kamu ini dukun atau pedagang?"
Lelaki itu tertawa kecil. "Cuma seorang mantan influencer yang lelah jadi mesin pencitraan."
Perempuan itu menatapnya lebih lama. "Mantan influencer? Kenapa berhenti?"
Lelaki itu mengangkat bahu. "Karena aku muak. Hidup di antara barang pinjaman, memakai atribut yang aku sendiri tak nyaman. Berpura-pura punya segalanya, hanya demi validasi dari orang-orang yang bahkan tidak benar-benar peduli."
Perempuan itu terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang ia kira.
Hari-hari berikutnya, perempuan itu mulai menarik diri dari media sosial. Ia lebih memilih sering kembali ke pameran tersebut. Meluangkan waktunya untuk mendengarkan lelaki yang juga menyerah pada kebutuhan validasi. Ia menyimak saat lelaki itu bercerita tentang bagaimana dulu ia harus meminjam barang-barang branded demi konten. Bagaimana stresnya mengejar angka engagement. Ia dulu pernah punya ribuan pengikut, diundang ke acara eksklusif, dan hidup dalam sorotan.
Namun, lepas dari media sosial tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perempuan itu tak bisa begitu saja menyuarakan kelelahannya pada dunia. Sementara dunia masih menginginkannya. Teman-temannya mulai bertanya. "Perempuan itu, kok enggak update lagi?"
Perempuan itu tidak tahu bagaimana menjawabnya. Setiap ia mencoba menjauh, ada rasa takut tertinggal. Ia bahkan sempat mempertimbangkan kembali ke dunia lama ketika sebuah brand menawarinya kontrak besar. Jumlah uang yang ditawarkan begitu besar, cukup untuk membayar uang kuliahnya. Tawaran itu sangat menggoda, tetapi di saat bersamaan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Suatu malam, perempuan itu duduk di kamarnya. Udara terasa pengap, bercampur dengan aroma parfum yang sudah mengendap di sprei. Ia menatap dirinya di cermin, bertanya apakah hidupnya selama ini hanya sebatas angka di media sosial.
"Aku rasa aku juga sudah selesai dengan hidup sebagai influencer," gumamnya pelan.
Tumpukan buku-buku koleksinya membentuk sebuah sudut kecil. Ada kehangatan berbeda di sana—sesuatu yang nyata. Ia membuka buku yang pernah diberikan lelaki itu. Di dalamnya, ada sebuah catatan kecil: "Dunia digital bukan satu-satunya dunia yang ada."
Saat ia membuka ponselnya, pesan dari lelaki itu muncul.
"Malam ini makan apa?"
Perempuan itu mengetik. "Telur dadar gagal."
"Hahaha, mau aku bawakan mi instan? Dijamin enggak akan gagal!"
Perempuan itu tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ringan.
Beberapa bulan kemudian, perempuan itu menggunakan platform-nya untuk sesuatu yang lebih berarti. Bukan lagi foto-foto glamor atau endorse barang mahal, melainkan kisah-kisah kecil yang menginspirasi. Ia juga mulai merintis pondok baca di sudut kota, tempat anak-anak dan remaja bisa menemukan dunia yang lebih luas dari sekadar layar ponsel. Dengan bantuan lelaki itu, ia mendirikan tempat yang nyaman, dengan rak-rak kayu penuh buku lengkap, dengan bantal-bantal empuk untuk membaca.
Suatu hari, saat perempuan itu duduk di pondok bacanya, seorang gadis remaja menghampirinya. "Kak, aku dulu sering merasa enggak cukup baik karena media sosial. Tapi setelah datang ke sini, aku jadi lebih tenang."
Perempuan itu tersenyum. "Aku juga pernah merasa seperti itu. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup kita."
Lalu di satu sore, saat ia merapikan rak buku, lelaki itu datang membawa sebuah buku berdebu.
"Aku menemukan ini di antara koleksi barang lama. Aku pikir kamu akan menyukainya," katanya.
Perempuan itu membuka halaman pertama. Aroma kertas tua menguar. Di sudut halaman, tertulis kutipan dengan tinta yang mulai memudar: "Bahagia bukan tentang apa yang dunia lihat, tapi apa yang kamu rasakan."
Perempuan itu menutup buku itu, menatap lelaki itu, dan mengangguk. "Lebih dari yang pernah kubayangkan."
Kali ini, ia benar-benar yakin.
~Febriyanti DS
Terinspirasi oleh lagu berjudul Ojo Dibandingke oleh Abah Lala/Farel Prayoga
#nulisbarengperlima
#songfictionperlima
#fiksiminiperlima
#ojodibandingke
#hargasebuahlike
Editor: Ihdina Sabili
No comments